DENPASAR - Akibat pembangunan industri pariwisata yang sangat pesat, Bali saat ini mengalami krisis air tanah bersih.
Di wilayah Denpasar dan Kabupaten Badung dikabarkan sudah sangat parah terkena intrusi.
Diprediksi pada 10 tahun ke depan, Bali terancam mengalami kekeringan air tanah bersih.
Manager Bali Water Protection Program IDEP Foundation, Komang Arya Ganaris, mengatakan sekitar 10 tahun yang lalu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), cadangan air tanah bersih di Bali yang tersisa hanya 47 persen.
Angka persedian air tersebut menunjukkan Bali saat ini sudah masuk dalam kategori krisis air tanah bersih.
"Itu sudah sejak sekitar 10 tahun yang lalu hingga perkembangan sekarang yang sangat pesat. Sementara cadangan air kita tidak bertambah. Kalau tidak ada upaya yang serius dari semua pihak, khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali atau pemerintah kabupaten dengan kondisi sumber daya air yang sekarang ini, prediksi kami paling lama 10 tahun kedepan kita akan menghadapi masalah besar dengan air bersih," ujarnya, belum lama ini.
Pria yang akrab disapa Bobi Ganaris ini mengatakan, normalnya cadangan air tanah bersih di Bali itu minimal 80 persen.
"Kalau kita mengacu pada hasil penelitian 10 tahun yang lalu, 87 persen itu dianggap sudah mendekati krisis. Jadi dibawah itu semakin krisis. Kalau kita mau aman itu minimal 80 persen kita punya cadangan. Jadi kalau normalnya itu kita harus mengembalikan kondisi cadangan air," katanya.
Penyebab utama terjadinya krisis air tanah bersih di Bali, menurut dia, yang pertama karena pesatnya pembangunan industri pariwisata.
Kedua hilangnya ruang terbuka hijau yang merupakan sarana tunggal mengembalikan siklus air.
Kemudian yang ketiga tidak ada kebijakan serius dari pemerintah untuk konservasi sumber daya air.
Walaupun Bali punya sumber daya air misalnya sumber danau dan sungai sekalipun, saat ini banyak yang tercemar sampah, pestisida, dan pencemaran lainnya.
"Pulau (Bali) ini kecil, otomatis cadangan airnya tidak terlalu banyak dibanding dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Sementara perkembangan pembangunan di pulau ini sangat tinggi. Pembanguan yang tinggi otomatis juga ruang-ruang hijau semakin minim sebagai tempat sarana tunggal mengembalikan air di dalam tanah," katanya.
Ia menjelaskan, konsumsi air bersih untuk rumah tangga di perkotaan atau tempat urban saat ini rata-rata mencapai 130-180 liter per orang.
Sementara konsumsi air untuk masyarakat di pedesaan antara 80 sampai 100 liter.
"Untuk di Denpasar dan Badung misalnya di perhotelan itu pemakaian airnya per orang sudah mencapai 100 liter lebih ke atas. Lain lagi dengan kebutuhan lainnya misalnya kebutuhan kolam dan aktivitas lainnya sepeti spa," ujarnya.
Sektor yang paling banyak menyedot air tanah adalah industri pariwisata.
"Sekarang memang di sana (industri pariwisata, red) yang paling besar karena memang dari suplay distribusi airnya juga tidak mencukupi semuanya. Itu salah satu alasan sehingga akhirnya mereka mengambil air tanah bersih secara masif. Wilayah Badung dan Denpasar yang paling banyak, karena pusat industri pariwisata terbesar di sana dan di Ubud," ungkapnya.
Permukaan Air Tanah
Permukaan air tanah juga telah mengalami penurunan. Data dari hasil penerlitian, penurunan muka air tanah di Bali mencapai sekitar 70 sampai 200 mbmt.
"Jadi kita sudah mengalami penurunan dari permukan. Jadi-kan sebenarnya ada dua, air permukaan dan air dalam. Untuk permukaan ini kita sudah tercemar oleh air laut, polusi dan lainnya. Makanya sekarang banyak yang melakukan pengeboran sumur lebih dalam lagi, antara 40-60 meter untuk mendapatkan air yang layak untuk dikonsumsi," kata Bobi.
Pada intinya, kata dia, Bali saat ini sudah mengalami krisis air tanah bersih.
"Sumber air kita kan ada danau, sumber mata air dan sungai-sungai yang ada. Saat ini bisa kita lihat dari air sungai dan segala macamnya. Air tanah yang sudah tercemar ini kita akan semakin berebut lagi dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Seperti kebutuhan pertanian, kebutuhan untuk industri dan kebutuhan lainnya," ujarnya.
Menurutnya, ketersediaan air tanah yang menipis mengakibatkan proses intrusi air laut masuk ke daratan.
Ini lantaran terjadinya ketidakseimbangan dari penggunaan air yang berlebihan dibandingkan penyediaan air tanah.
"Kalau di beberapa tempat seperti di Bali Selatan khususnya itu sudah mulai krisis. Karena pengambilan air tanah banyak, baik domestik maupun industri ya air laut masuk dari 1-2 kilometer ke daratan. Di Denpasar sendiri pengambilan air tanah per hari sekitar 60 persen," katanya.
"Semua wilayah di Bali Selatan itu sudah terkena intrusi, terus di tempat wisata kaya di Lovina, Gilimanuk, itu juga mengalami intrusi. Kalau di Denpasar dan Badung sudah parah. Makanya di Denpasar dan Badung orang melakukan pengeboran sumur sudah semakin dalam. Kalau dulunya 15 sampai 20 meter, sekarang 15 meter airnya sudah payau, kecoklatan dan kuning," sambungnya.
Meski saat ini Bali tengah terancam krisis air tanah bersih, namun Bobi menilai belum ada pihak yang serius menggarap isu tentang air.
"Ini kita masih memanfaatkan sumber-sumber air yang manual, seperti PDAM dan sungai. Walaupun beberapa tahun terakhir ini dibangun bendungan dan spam-spam (sistem penyedian air minum) baru di beberapa tempat itu tidak mencukupi," katanya.
Pun ia katakan, sudah banyak penelitian atau kajian, bahkan pihaknya pun mendapatkan rilis kajian dari pemerintah terkait kondisi krisis air tanah bersih.
"Seharusnya itu disambut dengan kebijakan-kebijakan yang lebih serius untuk konservasi air tanah bersih. Sementara dari program-program pemerintah daerah tidak ada program yang serius ke arah sana," ujarnya.
Menurutnya, Indonesia khususnya di Bali sebenarnya mempunyai keseimbangan untuk bisa mencadangkan air.
"Kita punya keseimbangan kering dan basah. Kalau kita mampu memanfaatkan musim hujan lebih maksimum, mengembalikan air lewat air hujan ke dalam tanah itu sangat cukup membantu keseimbangan cadangan air kita," ujar Bobi.
Moratorium Industri Pariwisata
Solusi untuk mengatasi kondisi ini, kata Bobi, yang pertama harus ada moratorium industri pariwisata.
"Beberapa tahun yang lalu kita mengusulkan untuk ada moratorium, maksudnya kita jeda sedikit pembangunan industri pariwisata sambil kita mengevaluasi daya dukung dan daya tampung pulau ini. Yang kedua solusinya adalah mengembalikan daerah-daerah konservasi. Apakah lewat penghijauan tanaman dan lainnya," ujarnya.
Sebagai salah satu solusi cepat dan secara menyeluruh, pihaknya dalam hal ini IDEP lewat program Bali water protection saat ini sedang bekerjasama dengan Politeknik Negeri Bali untuk membangun sumur imbuhan.
Dengan membangun sumur imbuhan ini dapat menekan air laut agar tidak masuk ke daratan.
"Ini akan kita bangun di semua lokasi yang kita petakan mengalami krisis. Apakah di dataran tinggi atau rendah. Saat ini kita sedang mengembangkan penelitian bersama Politeknik, mungkin Agustus (2018) ini sudah ada hasil kajian dimana yang tepat kita membangun sumur,-sumur itu. Sementara politeknik sudah memulai itu dari tahun 2014 dengan Kota Denpasar. Kita ingin ini dikembangkan di seluruh Bali, makanya kita menggandeng politeknik untuk melakukan penelitian di seluruh Bali," ucapnya.
Kelangkaan air yang akan terjadi di Bali tidak hanya berpengaruh pada ketahanan pangan.
Namun juga berdampak besar pada budaya dan kehidupan tradisional masyarakat Bali.
"Kita berharap semua pihak bisa kembali terhadap budaya lokal Bali, kan kita punya nilai-nilai lokal yang sebenarnya kita bisa pergunakan sebagai konservasi air. Nilai-nilai lokal Bali itu menghormati sedemikian tingginya air. Karena Bali sendiri disamakan dengan agama tirta, jadi dengan agama tirta itu kan sebenarnya menghormati dengan setingginya air itu," katanya.
sumber : tribun