AMLAPURA - Hujan masih mengguyur Pos Pengamatan Gunung Api Agung di Desa Rendang, Karangasem, Minggu siang (8/10/2017).
Tingginya curah hujan di sekitar Gunung Agung (GA) dalam beberapa hari terkahir menjadi pemicu kepulan asap setinggi 1500 meter yang tampak Sabtu (7/10/2017) malam.
"Asap tersebut masih putih dan belum bercampur material. Kemungkinan kepulan asap setinggi 1500 meter dari puncak gunung itu diakibatkan oleh curah hujan yang masih tinggi di sekitar Gunung Agung selama 3 hari terakhir. Jadi bukan letusan," ujar Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Gede Suantika, Minggu (8/10/2017)
Ia menjelaskan, asap yang membumbung tinggi dapat dipicu oleh dasar kawah yang sangat panas, lalu diguyur hujan deras.
Akumulasi air ke bawah kawah, lalu dilepas menjadi uap air yang tampak berupa asap berwarna putih
"Jadi 99 persen asap yang kemarin mengepul tinggi masih mengandung uap air. Jadi fenomena kemarin malam itu belum erupsi, tapi masih aktivitas solfatara," jelas Gede Suantika
Gunung api dapat dikatakan erupsi jika kepulan asap berwarna pekat dan bercampur material dari perut bumi.
Hasil evaluasi aktivitas vulkanik Gunung Agung per Minggu (8/10/2017), menunjukan jika gunung Agung masih dalam status awas.
Kondisi kegempaan pun tetap kritis.
Angka gempa vulkanik dalam masih berada di angka 500-600 per hari, sementara gempa vulkanik dangkal berada di angka 300- 350 per hari, sedangkan gempa tektonik lokal masih diangka 60-70 per harinya.
"Dari kegempaan, belum ada tanda-tanda tremor. Masih gempa seperti sebelumnya. Berdasarkan informasi dari pendaki terakhir, sudah tercium bau belerang di radius sekitar 700 meter dari bibir kawah gunung Agung," jelas Gede Suantika. (mit)
Belum Terdeteksi Kadar Belerang di Radius 12 Km
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM sejak 3 hari lalu telah melakukan pengukuran terhadap kadar belerang (SO2) gunung Agung.
Hasilnya hingga saat ini belum terdeteksi kadar belerang di radius 12 kilometer dari gunung Agung.
"Berdasarkan dari hasil pemeriksaan petugas kami dari arah utara dan selatan gunung Agung, hingga saat ini kandungan gas belerang masih nol," ujar Gede Suantika di Pos Pantau Gunung Agung, Karangasem, Minggu (8/10/2017).
Pengukuran terhadap kadar belerang Gunung Agung telah dilakukan sejak tiga hari dengan menggunakan alat spektrometer.
Alat tersebut digunakan untuk pengambilan sampel kandungan sulfur dari gunung dari jarak 12 kilometer dari bibir kawah.
Gede Suantika mencontohkan, metode pengecekan kandungan sulfur ini sangat tergantung dengan posisi dan arah angin.
Apabila sebaran gas sulfur terbawa angin ke arah barat, maka pengecekan harus dilakukan di arah barat Gunung Agung dan alat spektrometer harus diarahkan vertikal (ke atas) mengarah utara dan selatan.
"Apabila gas ini melintas di atas spektrometer ini, maka akan diketahui kosentrasi kandungan gas belerang itu. Tapi sampai saat ini masih nihil di radius 12 Km. Namun berdasarkan informasi pendaki terakhir, di radius 700 meter dari bibir kawah sudah tercium aroma belerang," ujarnya.
Gede Suantika menambahkan, bercermin dari letusan tahun 1963 silam, sebelum letusan hebat warga di sekitar Gunung Agung merasakan tiga kali gempa. Lalu diawali dengan letusan kecil (frearik), yang selanjutnya diikuti dengan letusan besar (magmatik).
"Dahulu leluhur kami para peneliti vulkanologi mencari data letusan Gunung Agung berdasarkan dari wawancara dengan warga setempat. Itupun para peneliti tiba di Bali satu minggu setelah terjadinya letusan Gunung Agung," jelas Gede Suantika.
Kepala PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM, Kasbani menambahkan, pihaknya telah menambah dua alat tilmeter (alat baru untuk mendeteksi deformasi) untuk mengkonfirmasi pengembungan Gunung Agung.
"Alat ini kembali difungsikan untuk mengantisipasi hal terburuk, akibat penggembungan gunung Agung," ujarnya.
Alat tilmeter dipasang pada sisi utara dan selatan di radius 9 hingga 12 kilometer dari puncak Gunung Agung.
sumber : tribun