Pernahkan anda bertanya mengapa orang Bali mempunyai nama khusus?. Terkadang sebagai generasi penerus hanya melanjutkan penggunaan nama tersebut tanpa tahu makna yang tersimpan dibalik nama itu. Namun harus diakui bahwa nama bali yang melekat dan selalu dipakai dari sejak lahir merupakan ciri khas dan unik bagi masyarakat Bali.
Orang Bali umumnya memiliki nama depan seperti I Putu, I
Wayan, I Gede, I Made, I Nyoman, I Ketut, dst. Ada juga yang memiliki nama
depan seperti: Ida Bagus, Cokorda, I Gusti, Anak Agung, dst. Lalu apa
sebenarnya makna dari nama depan tersebut?
Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai
contoh I Dewa Agung Made Suwardana. Cukup panjang bukan?. Padahal nama
intinya hanya satu kata yaitu “Suwardana”, bisa jadi lebih panjang lagi jika
nama intinya lebih dari satu kata.
Lalu apa maksud dari “I Dewa Agung Made” pada nama saya?
Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang
mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Sebelum kami melanjutkan, disini kami
tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di
masyarakat khususnya di Bali.
Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya
ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran.
Seperti, “I Dewa Agung” adalah mencirikan seseorang berasal dari kasta Ksatria.
Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida
Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata "Made". Ini adalah
ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia
anak ke berapa dari nama depannya.
Menurut "sastra kanda pat sari", Nama-nama depan khas Bali
itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak,
dari pertama hingga keempat, adalah sebagai berikut:
- Anak pertama biasanya diberi awalan “Wayan” diambil dari kata wayahan yang artinya tertua / lebih tua, yang paling matang. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. kata “Putu” artinya cucu. Sedangkan “Gede” artinya besar / lebih besar. Dan untuk anak perempuan kadang diberi tambahan kata “Luh” Contoh : I wayan budi mahendra, Ni Putu Erni Andiani, I Gede Suardika, Ni Luh Putu Santhi dll
- "Made" diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata tengah. Ada juga yang menggunakan kata “Kadek” merupakan serapan dari “adi” yang kemudian menjadi “adek” yang bermakna utama, atau adik. Contoh: I Kadek Mardika, Ni Made Suasti, Nengah Sukarmi dll
- Anak ketiga biasanya diberikan nama depan "Nyoman" atau "Komang" yang konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar) yang mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Nyoman ini konon berasal dari serapan “anom + an” yang bermakna muda. Kemudian dalam perkembangan menjadi komang yang secara etimologis berasal dari kata uman yang bermakna “sisa” atau “akhir”. Jadi menurut pandangan hidup kami, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja. Setalah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak. Contoh: I Nyoman Indrayudha, Ni Komang Ariyuni dll
- Anak keempat : diawali dengan sebutan “Ketut”, yang merupakan serapan “ke + tuut” - ngetut yang bermakna mengikuti mengikuti atau mengekor. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno Kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bertitel Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini. Contoh: I Ketut Nugraha, Ni Ketut Sudiasih dll
Orang Bali memiliki sebuah tabu bahwa petani tidak boleh
menyebut kata tikus, di Bali disebut bikul, di sawah, karena hal ini bagai
mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu di sawah, orang memanggilnya dengan
julukan spesial ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari
pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.
Bila keluarga berancana gagal, dan sebuah keluarga
memiliki lebih dari empat anak? Di sini ada 2 alternatif yang bisa dipakai
orang tua untuk memberi nama depan pada anak kelima, keenam, dan seterusnya:
- nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
- Ada orang tua yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suandra. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, atau anak yang lahir setelah putaran 1 sampai 4.
Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan
Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok
Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi
pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya.
Tidak jelas benar, kapan tadisi pemberian nama depan ini
mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas
Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. nama depan itu
ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu
bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri
Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai
penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.
Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu
berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan.
Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat
Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi
semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum
akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang
Bali. Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti
nama depan orang Bali juga mulai bergeser.
Selanjutnya, untuk membedakan jenis kelamin, orang bali
mengawali setiap nama dengan menambah satu kata lagi, yaitu
- Awalan “I” untuk anak lelaki
- Awalan “Ni” untuk anak perempuan
Tapi tidak semua kasta (wangsa) orang Bali menggunakan kata I
atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata
“Anak Agung”, "Cokorda" dll.
Selain menunjukkan urutan kelahiran, ada nama depan
tertentu yang menunjukkan kasta di bali. Penamaan berdasarkan Kasta ini merupakan gelar
warisan turun temurun yang melekat pada keturunan orang Bali yang dulunya
memiliki kelas tersendiri berdasarka profesinya.
- Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunan kasta Brahmana di Bali. Brahmana adalah kasta dari penggolongan profesi sebagai pemuka agama; misalnya pendeta. Contohnya: Ida Bagus Dharmaputra, Ida Ayu Diah Tantri.
- Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Contohnya: Anak Agung Komang Panji Tisna, Anak Agung Ayu Wulandari, Cokorda Rai Sudarta, I Dewa Putu Kardana, I Gusti Ngurah Adiana, dll.
Namun sering kali nama depan dari kasta-kasta (wangsa) di atas
juga diikuti dengan urutan kelahiran. Seperti misalnya: Ida Bagus Putu Puja,
Ida Ayu Komang Rasmini, I Gusti Agung Made Jayandara, Ni Gusti Ayu Putu
Anggraeni, dll.
Sehingga bila ada yang bernama “I Dewa Agung Made Suwardana” itu artinya
- “I” menunjukan jenis kelamin Pria
- “Dewa Agung” menunjukan gelar Wangsa bukanlah kasta di bali
- “Made” menujukan urutan kelahiran, dalam hal ini anak ke 2
- “Mahendra” menunjukan nama.
Disamping itu ada sapaan yang biasa diberikan oleh orang
yang lebih kecil kepada yang lebih tua dan sebaliknya. Diantaranya:
- sapaan “Bli” atau "Wi" untuk setiap pria yang ditemui. Terlepas itu benar atau salah, orang Bali tidak pernah mempermasalahkan. Mereka lebih cenderung untuk menghargai pengunjung yang berusaha “menghormati” dengan sebutan yang lebih akrab seperti “Bli”.
- sebutan “Mbok” diberikan untuk wanita Bali.
- Sapaan “Adi / adik” atau menyebut nama langsung diberikan kepada wanita ataupun pria yang lebih muda.
Selain itu ada panggilan akrab yang sering didengar untuk
memanggil orang bali yang masih kecil, anak remaja atau lebih muda (kira - kira belum menikah)
diantaranya
- panggilan "Gus" untuk laki-laki. Gus ini bersumber pada kata “bagus” yang artinya tampan, ganteng
- panggilan "Gek" merupakan singkatan dari “Jegeg” yang artinya cantik, ayu.
Bila kita melihat maksud dan tujuan dari penyampaian yang
tersirat dalam budaya masyarakat asli Bali, ada pelajaran yang dapat kita ambil
didalamnya, yaitu kita harus selalu dapat menghormati kepada yang lebih tua.
Dengan kata lain budaya merupakan pembelajaran norma-norma kehidupan yang tidak
terlepas dari pada apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita dalam hidup di
alam semesta ini.
Mr. Brain Revolution_______________
Dikutip dari pelbagai sumber
Mr. Brain Revolution_______________
Dikutip dari pelbagai sumber