Seminar reformasi ritual upacara dan upakara ngaben |
Akan tetapi disebabkan oleh lamban dan kurangnya penganalisaan dari para prajuru adat di tempat tersebut, begitu juga sarati banten, masyarakat adat bahkan juga sang sulinggih untuk mengantisipasi sekaligus menyikapi dampak perubahan tersebut.
"Sebenamya istilah sulitnya mati di tanah bali tidak perlu ada apabila masyarakat adat, prajuru adat, sarati banten dan para sulinggih membuka diri dengan membuka wawasan ke depan. Sehinggga fenomena pengabenan ke krematorium bisa dikurangi dengan sendirinya dan tradisi gotong royong dan pesuka-dukan bisa diajegkan," kata Ida dalam Seminar Reformasi Ritual Upacara dan Upakara Ngaben yang dilaksanakan oleh Pinandita Sanggraha Nusantara, Minggu (16/9/2018) di Gedung Santi Graha Denpasar.
Ida menawarkan beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal itu.
Solusi untuk mengatasi adanya kesepekan banjar desa yaitu prajuru adat atau banjar dan masyarakat banjar adat, harus dapat menyadari bahwa masyarakatnya yang berada di luar desa adatnya untuk mencari kerja demi kesejahteraan mereka dan keluarga yang berimbas kepada desa.
"Hal ini sepatutnya diapresiasi dan dapat diberikan suatu dispensasi dan keringanan didalam pelaksanaan pekerjaan adat yang tidak begitu penting. Dan jangan sebaliknya, justru hal ini dipakai sebagai ajang kecemburuan. Karena sesungguhnya masyarakat desa yang mencari kerja di luar desanya akan bisa memberikan sumbangan dan kontribusi yang lebih banyak baik pemikiran maupun materi," kata Ida.
Menghindari membuat awig-awig atau perarem yang justru merugikan krama muwed atau penduduk Hindu yang asli dari desa itu.
Mulailah pembenahan di dalam membuat aturan atau awig-awig desa atau banjar sehingga atauran-aturan itu tidak seolah-olah tajam ke dalam namun tumpul keluar karena hal itu akan merugikan bagi masyarakat asli di masa depan.
Prajuru banjar atau desa, harus menghindari adanya penjatuhan sanksi atau hukuman kesepekan atau pengucilan kepada umat Hindu, terlebih hanya karena jarang tedun ke banjar atau desa yang disebabkan karena aturan di tempat kerja.
"Namun apabila jarangnya mereka tedun ke banjar/desa karena memang orangnya bandel atau malas, maka perlu diadakan pendekatan dengan bentuk mendidik sehingga mereka mengerti hidup dalam sistem masyarakat yang baik," terang Ida.
Dengan tidak adanya sanksi kesepekan serta aturan-aturan desa yang dirasa memberatkan umat Hindu di desa tersebut, maka otomatis sistem suka duka akan berjalan dengan baik, dan masyarakat akan lebih memilih setranya sendiri untuk melaksanakan upacara kematian dibanding mencari krematorium.
Sementara itu solusi untuk mengatasi keharusan melaksanakan upakara pengabenan yang besar dan mahal yaitu menurut Ida sebagaimana yang dikutip di sloka Bhagawad Gita IX. 26, di dalam ajaran Hindu, tidak ada keharusan untuk melakukan upacara dengan upakara bebantenan yang besar dan mahal.
"Siapa saja yang sujud dihadapan-Ku dengan persembahan sehelai daun, sekumum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci," lanjut Ida menerjemahkan sloka dalam Bhagawadgita IX. 26.
Inti dari upakara pitra yadnya untuk pengabenan yaitu nasi angkeb, bubur pirata, angenan, pangruyagan, pisang jati, panjang ilang, dyus kamaligi, pengadang-adang dan tirtha pangentas.
Walaupun upacara pengabenan itu kecil atau besar upakara inti ini mesti ada.
Sementara itu untuk Ayaban Pengiring (pras pengambian, udel kurenan, pulogembal, bebangkit) bukan merupakan banten inti karena sesungguhnya ayaban pengiring dapat dipilih sesuai dengan kemampuan keuangan masing-masing.
Pengabenan sederhana itu juga sudah sesuai dengan isi Lontar lndik Maligya.
Selain itu perlu juga dipahami tentang fungsi, makna dan arti upacara serta tentang konsep inti upacara oleh sang sulinggih, prajuru adat, sarati banten dan masyarakat Hindu.
Sedangkan solusi untuk mengatasi penyimpanan mayat terlalu lama yaitu menurut Ida sebenarnya menyimpan mayat terlalu lama pada saat ini sudah tidak perlu, karena sudah ada beberapa solusi sesuai dengan hasil Paruman Wiku Parisada Hindu Dharma Indonesia sejak tahun 1959.
Selain itu dalam Parumana Wiku se-Kota Denpasar, 29 Juni 2015, telah dihasilkan keputusan yaitu aturan “nyekeh” atau menitipkan mayat berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, dapat dihindari karena sudah adanya aturan tentang ngaben dadakan sengker pitung dina (7 hari) yang tidak perlu untuk memilih dewasa ayu, namun yang dihindari adalah Semut sedulur, Kala Gotongan, Prewani, Puranama Tilem dan pujawali di Kahyangan Desa setempat. Dan setiap Wuku (satu Minggu), pasti ada dewasa untuk ngaben dadakan.
Dan untuk menghilangkan dresta nyangu banjar dan ngarap sawa yaitu Ida mencontohkan apa yang telah berlaku di Desa Sesetan, dimana banjar-banjar menerapkan aturan bahwa keluarga orang yang punya kematian tidak boleh nyangu atau menyuguhkan apapun termasuk air mineral kepada semua anggota banjar yang datang membantu.
"Bahkan bagi keluarga yang punya kematian kedapatan menyuguhkan sesuatu kepada anggota banjar saat upacara berlangsung akan didenda. Hal ini memberikan kenyamanan bagi orang-orang yang memiliki kematian, sehingga tidak takut melaksanakan upacara pengabenan di desanya sendiri," tutur Ida.
Perlunya juga mencermati tentang pemberian pendidikan agama, budaya, adat serta politik keagamaan baik kepada masyarakat desa, prajuru desa serta sarati banten, sehingga umat bisa menjalankan agamanya dengan baik dan tenang.
sumber : tribun