Menyingkap Berita Tanpa Ditutup Tutupi
Home » , , , , » Rarud Dari Karangasem, Masindihan Wujud Syukur Atas Anugerah Dewi Sri

Rarud Dari Karangasem, Masindihan Wujud Syukur Atas Anugerah Dewi Sri

Written By Dre@ming Post on Kamis, 07 Januari 2016 | 7:51:00 AM

 Pura Puseh di Desa Pakraman Talepud, Kecamatan Tegallalang, Gianyar.Cikal bakal penduduk di Desa Pakraman Talepud berasal dari Desa Sudarmaji seputar lereng Gunung Agung, yang dulunya rarud (pindah massal) karena terjadi bencana gering dan kekeringan dashyat.
GIANYAR - TRADISI ritual keagamaan Masindihan di Desa Pakraman Talepud, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar sudah diwarisi krama setempat secara turun temurun. Ritual berupa saling sindir teruna-teruni selama semalaman di jaba tengah Pura Puseh yang dilaksanakan setahun sekali pada Sasih Kapitu (bulan ketujuh sistem penanggalan Bali) ini, bermakna sebagai simbolik wujud syukur atas angerah Dewi Sri.

Tidak jelas, sejak kapan tradisi Masindihan di Desa Pakraman Talepud---desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Kintamani, Bangli di sisi utara---ini dimulai. Menurut Bendesa Pakraman Talepud, I Nyoman Suyasa, tradisi ini telah diwarisinya secara turun-temurun. “Sejak kapan ada tradisi ini, kami tidak tahu,” jelas Bendesa Nyoman Suyasa, Selasa (5/1).

Berdasarkan sejarah dan penuturan para tetua setempat, warga yang kini tinggal di wewidangan (wilayah) Desa Pakraman Talepud merupakan karma rarudan (warga yang datang secara massal, Red) dari Desa Sudarmaji di seputar lereng Gunung Agung, Karangasem.

Nyoman Suyasa mengatakan, mereka dulunya rarud ke Desa Pakraman Talepud karena bencana gering (penyakit) dan kekeringan dashyat yang menimpa desa asalnya. Kawasan Talepud jadi pilihan untuk tinggal menetap dan mempertaruhkan hidup, karena hawanya sejuk, tanahnya subur. Kawasan Talepud dianggap sangat cocok untuk pertanian.

Sejarah mencatat, karma Desa Pakraman Talepud kemudian dikenal sebagai petani yang ulet dengan hasil padi dan perkebunannya yang berlimpah. Hanya saja, berkat kemajuan bidang transportasi dan komunikasi, kini banyak krama Desa Pakraman Talepud yang beralih menekuni profesi sebagai perajin, pedagang, dan pekerjaan non agraris lainnya.

Versi Nyoman Suyasa, tradisi ritual Masindihan sesungguhnya bagian dari tradisi agraris krama setempat sejak masa lampau. Makna utama ritual Masindihan adalah wujud syukur kepada Dewi Sri, manifestasi Tuhan yang memberikan anugerah kesuburan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Ritual Masindihan ini dilakukan saat Ngapitu atau saat padi sedang mud (menumbuhkan biji beras).

Hanya saja, ritual Masindihan ini dilakukan dominan oleh kaum teruna (remaja pria) dan teruni (remaja perempuani) bersamaan dengan karya pujawali di Pura Puseh, Desa Pakraman Talepud. “Ritual Masindihan selalu dilaksanakn pada hari kedua dalam empat hari pelaksanaan Piodalan Ageng di Pura Puseh,” beber Nyoman Suyasa.

Suyasa tidak memungkiri bahwa ritual Masindihan juga sebagai bentuk hiburan bersifat otonom khsusnya kalangan teruna-teruni. Cuma, hiburannya bernuansa ritual. Meskipun ada keriuhan, namun tetap dilakukan dari, oleh, dan untuk krama setempat.

Puncak tradisi ritual Masindihan ini terletak pada nyanyian berpantun antar kaum teruna ditujukan kepada kaum teruni, dan sebaliknya. Intinya, mereka saling berbalas pantun berupa sasindihan (sindiran, Red) bermaterikan kritik sosial yang sangat jamak, mulai dari soal pergaulan sehari-hari, pekerjaan, kebiasaan unik dan lucu, sekolah, hingga hal-hal lainnya.

Materi pantun ini merupakan hasil ‘rekaman’ selama setahun tentang tindakan kaum teruna atau teruni yang nyeleneh. Ritual Masindihan berupa saling sindir ini disaksikan seluruh pamangku dari Pura Kahyangan Tiga, prajuru adat, dan krama Desa Pakraman Talepud, sejak malam pukul 20.00 Wita hingga subuh pukul 05.00 Wita.

Menurut Suyasa, ada pantangan bagi teruna-teruni yang akan ngayah Masindihan semalam suntuk. Pantangan tersebut, antara lain, tidak sedang menderita luka fisik atau sedang datang bulan bagi kaum teruni. Selain itu, ritual Masindihan juga pantang untuk digelar jika sedang ada kecuntakan karena krama meninggal dunia bersamaan dengan pujawali di Pura Puseh.

Bendesa Nyoman Suyasa mengatakan, tradsi Masindihan sangat mulia untuk krama Desa Pakraman Talepud. Pasalnya, melalui ritual Masindihan, krama desa dapat menyimak dan memahami karakter dan gaya pergaulan remaja setempat. Tradisi ini juga berperan sebagai media kontrol sekaligus penyambung pesan orangtua kepada remaja.

Melalui ritual Masindihan, para orangtua juga dapat memahai seluk beluk kehidupan remaja masa kini. “Misal, kalau sampai terjadi sindihan (sindiran) pantun yang kelewatan, maka jero kelian yang menengahi. Dengan begitu, tidak pernah terjadi keributan, darah muda pun reda karena mereka punya rasa malu,” ujar tokoh adat yang juga pebisnis bidang pariwisata ini.








sumber :NusaBali
Share this article :

DKS

Visitors Today

Recent Post

Popular Posts

Hot Post

Dua Pemancing Tergulung Ombak Di Tanah Lot Masih Misteri

Dua Orang Hilang di Lautan Tanah Lot, Terungkap Fakta: Istri Melarang dan Pesan Perhatikan Ombak TABANAN - Sekitar sembilan jam lamany...

 
Support : Dre@ming Post | Dre@aming Group | I Wayan Arjawa, ST
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bali - All Rights Reserved
Template Design by Dre@ming Post Published by Hot News Seventeen