JAKARTA - Presiden SBY tolak permintaan Presiden 2014-2019 terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Alasannya, SBY tak ingin menambah beban rakyat jelang akhir masa kekuasaannya per Oktober 2014 nanti. Lagipula, tak ada alasan kuat untuk naikkan harga BBM. Karena ditolak SBY, Jokowi pun siap menaikkan harga BBM saat masa pemerintahannya nanti.
Jokowi selaku Presiden terpilih hasil Pilpres 2014 (yang diusung PDIP) sebelumnya meminta Presiden SBY (yang juga Ketua Umum DPP Demokrat) untuk menaikkan harga BBM saat pertemuan empat mata di The Laguna Resort and Spa, Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Rabu (27/8) malam. Hanya saja, SBY tak bisa memenuhi permintaan calon penggantinya tersebut.
Pihak pemerintahan SBY, melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto, menjelaskan konteks permasalahan kenapa sampai tolak permintaan Jokowi menaikkan harga BBM. "Presiden (SBY) memberikan penjelasan atas pertanyaan Pak Jokowi bahwa tahun lalu pemerintah sudah menaikkan harga BBM. Tahun ini ada kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) secara bertahap. Kemudian, harga Elpiji 12 kg juga akan naik. Kasihan rakyat kalau harga BBM juga dinaikkan," jelas Djoko di Jakarta, Kamis (28/8).
Djoko menyebutkan, yang paling menderita akibat dampak kenaikan harga BBM subsidi adalah rakyat. Sebab, kenaikan harga BBM akan menyebabkan inflasi naik, harga-harga akan melambung, angka kemiskinan otomatis meningkat, angka pertumbuhan melambat, angka pengangguran meningkat, dan lainnya. Lagipula, sekarang tidak ada alasan mendasar untuk menaikkan hargfa BBM.
Menurut Djoko, kenaikan harga BBM bisa dilakukan manakala ada perubahan yang sangat mendasar terhadap asumsi makro ekonomi dalam APBN, misalnya, harga minyak dunia naik drastis. Namun, kini kecenderungannya harga minyak dunia justru turun. "Jadi, tidak tepat apabila kebijakan kenaikan BBM itu diambil, sementara itu TDL sudah naik dan Elpiji 12 kg juga naik. Yang paling menderita nanti adalah rakyat banyak," dalihnya.
Menko Perekonomian, Chairul Tanjung, juga memaparka hal senada. Menurut Chairul, pemerintahan SBY tidak akan menaikkan harga BBm agar tidak menambah beban rakyat. Lagian, setahun lalu SBY sudah menaikkan harga BBM (dari semula Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter). Sedangkan tahun 2014 ini, disusul dengan kenaikan TDL untuk beberapa golongan, dan nanti kemungkinan ada kenaikan harga elpiji 12 kg.
Atas dasar pertimbangan itu, pemerintahan SBY belum berencana menaikkan harga BBM. "Beban masyarakat sudah cukup berat. Pemerintah pilih mengambil sikap untuk tidak menambah lagi beban rakyat yang sudah begitu besar," kata Chairul dilansir detikfinance secara terpisah seusai bertemu Gubernur Sumbar Irwan Prayitno di Padang, Kamis kemarin.
Bila harga BBM dinaikkan sekarang, menurut dia, akan ada akumulasi beban yang ditanggung masyarakat. Untuk itu, setiap kebijakan yang akan menambah beban masyarakat tidak akan dilakukan. "Jadi pemerintah saat ini tidak akan mengambil keputusan yang menambah beban rakyat lebih tinggi lagi.”
Chairul memastikan tidak ada beban yang dilimpahkan kepada pemerintahan baru nanti. Termasuk, persoalan BBM. Menurut dia, masalah yang terjadi saat ini adalah beban bagi pemerintahan SBY. Sedangkan, bila terjadi saat pemerintahan sekarang berakhir, maka menjadi urusan pemerintahan baru. "Semua beban harus ditanggung pemerintah masing-masing. Pada zamannya masing-masing," katanya. Tugas pemerintahan sekarang, menurut Chairul, adalah menjaga kuota penyaluran BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter sesuai UU APBN Perubahan 2014. Pemerintah pun telah mengeluarkan program pengendaliannya. Sedangkan tugas untuk pemerintahan selanjutnya adalah terkait dengan APBN 2015. "Jadi tidak ada beban yang diberikan pemerintah sekarang ke pemerintahan baru. Setiap pemerintahan pasti harus menanggung bebannya sendiri-sendiri. Tidak boleh pemerintahan mendatang memberikan beban ke pemerintahan sekarang," tegasnya.
Sementara, Jokowi mengakui permintaannya untuk menaikkan harga BBM ditolak Presiden SBY. "Jadi tadi malam (Rabu) memang secara khusus saya meminta kepada Presiden SBY untuk menekan defisit APBN dengan menaikkan harga BBM," kata Jokowi di Balaikota DKI Jakarta, Kamis kemarin.
Namun, kata Jokowi, permintaan tersebut tidak mendapat respons positif dari Presiden SBY. "Beliau (SBY) menyampaikan bahwa saat ini kondisinya dianggap masih kurang tepat menaikkan harga BBM," tandas Presiden terpilih yang masih jadi Gubernur DKI ini.
Meski Presiden SBY menolak, Jokowi tetap akan menaikkan harga BBM di era pemerintahannya nanti. "Saya siap untuk tidak populer," ujarnya. Menurut Jokowi, dirinya akan mengurangi subsidi BBM. Subsidi tersebut akan dialihkan ke usaha yang produktif, seperti benih untuk petani, pestisida, dan Solar untuk nelayan. "Saya kira harus mulai berubah. Jangan sampai konsumtif menggunakan BBM, untuk membeli mobil. Untuk mobil-mobil kita harus mulai mengubah dari sebuah konsumsi menjadi produksi. Itu saja," katanya.
Wapres terpilih pendamping Jokowi, Jusuf Kalla (JK) juga tidak memasalahkan jika pemerintahan SBY tolak menaikkan harga BBM subsidi hingga masa kepemimpinannya selesai. "Ya, tidak apa-apa kalau pemerintah sekarang ragu-ragu. Nantilah kami perbaiki," ujar politisi Golkar ini secara terpisah di Jakarta Selatan, Kamis kemarin.
JK mengatakan, dalam soal pemangkasan subsidi BBM, yang terpenting adalah bagaimana membuat negara tidak bangkrut dan mampu membayar gaji pegawainya serta memastikan pembangunan di daerah. Kenaikan harga BBM memang harus ditetapkan. Kalau tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi, menurut JK, suatu waktu nanti likuiditas pemerintah akan habis. “Mana suka kalian, jalan jelek, rumah sakit dan pertanian tidak bisa dibangun, tapi dana (subsidi) itu habis di knalpot-knalpot mobil," kata JK.
JK mengatakan, pemerintah yang baru nanti akan menentukan jumlah realistis kenaikan harga BBM. Tim Transisi, kata dia, boleh memberikan saran-saran, namun pemerintah yang akan memutuskan. "Nantilah akan kami putuskan itu." Sementara itu, PKS tolak kenaikan harga BBM subsidi. Menurut Ketua Fraksi PKS DPR, Hidayat Nur Wahid, kebijakan menaikkan harga BBM tidak berpihak kepada rakyat kecil. "Kalau dialihkan dan harga BBM dinaikkan, yang disusahkan juga rakyat kecil. Sedangkan Presiden kan digaji besar untuk mensejahterakan rakyat," tandas mantan Ketua MPR 2004-2009 ini dikutip Tempo kemarin.
Dia sepakat untuk tidak memanjakan rakyat dengan terus-terusan memberikan subsidi BBM. Tapi, pengambilan langkah menghapus subsidi dan menaikkan harga BBM juga dinilai bukan langkah yang tepat dan rasional. "Kondisi saat ini kan sedang damai dan tenang, tidak ada gejolak internasional yang membuat harga minyak dunia naik. Aneh kalau tiba-tiba harga BBM dinaikkan," katanya. Hidayat pun meminta SBY jangan pernah menaikkan harga BBm sampai habis masa jabatannya nanti. Demikian juga dengan Presiden periode selanjutnya. Dia menyarankan agar pemerintah mencari alternatif lain yang juga mendidik, tapi tidak menyusahkan rakyat. "Anggaran pemerintahan kan tidak selalu 100 persen terpakai. Kalau dihitung bisa sisa 10 persen dari Rp 2.000 triliun, yaitu Rp 200 triliun. Kenapa anggaran sisa tersebut tidak dioptimalkan saja?" tanya Hidayat.
sumber : NusaBali