DENPASAR - Perjuangan warga Desa Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng untuk dapat sertifikat hak milik atas tanah aset Pemprov Bali yang telah ditempatinya turun temurun, belum membuahkan hasil. Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyatakan tidak mungkin memenuhi tuntutan sertifikat hak milik tersebut, karena bisa melanggar hukum.
Hal ini disampaikan Gubernur Pastika saat pertemuan membahas kasus Sumberkelampok di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernuran, Niti Mandala Denpasar, Senin (11/11) siang. Sebenarnya, utusan warga Desa Sumberkelampok diundang hadir dalam pertemuan di Kantor Gubernur kemarin, namun mereka menolak datang. Dalam pertemuan kemarin, hadir pula Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya, Kapolda Bali Irjen Albertus Julius Benny Mokalu itu, Asisten I Pemprov Bali Dewa Eka Wijaya, Asisten II Made Santa, Wakil Ketua DPRD Buleleng Ni Luh Tiwik Ismarheningrum, hingga anggota DPRD Bali Dapil Buleleng Gede Ngurah Wididana. Gubernur Pastika menegaskan, kalau satu saja permohonan sertifikat hak milik atas tanah aset pemprov Bali dikabulkan, seluruh Bali akan memintanya.
Menurut Pastika, secara hukum, status tanah di Sumberkelampok memang tidak bisa diutak-atik lagi, karena sebagai aset Pemprov Bali. Karenanya, kata Pastika, sangat tidak mungkin meluluskan permohonan warga Sumberkelampok. “Saya tidak mungkin lepaskan hak tanpa prosedur hukum. Saya tidak mungkin melepaskan aset Pemprov Bali, karena saya akan melanggar undang-undang. Saya juga tegaskan ini tidak ada kaitannya dengan investor yang bersaing memanfaatkan lahan di sana,” tegas Pastika. “Nanti silakan DPRD Bali membentuk Pansus Aset, bila perlu secepatnya. Jangan tunggu dan molor-molor lagi,” imbuhnya. Pastika menyayangkan pemberitaan di media yang menyebut warga Sumberkelampok sudah mendapatkan lampu hijau dari Bupati Buleleng dan diplintir bahwa tinggal tunggu reklomendasi dari Gubernur saja.
“Di media ada disebutkan bhawa Bupati telah memberikan rekomendasi, tinggal Gubernur saja yang belum. Entah siapa ngasi informasi, saya juga nggak tahu,” kata Pastika. Informasi yang diplintir inilah, lanjut Pastika, yang membuat masalah dan seolah-olah Gubernur menghambat aspirasi masyarakat Sumberkelampok. Dalam pertemuan kemarin, Bupati Buleleng Agus Suradnyana pun sempat membantah telah memberikan lampu hijau kepada warga Sumberkelampok. “Nggak ada itu, Pak Gubernur,” tampik Bupati Buleleng dari PDIP ini. Bupati Agus Suradnyana pun mengapresiasi langkah Gubernur Pastika mengundang perwakilan warga Sumberkelampok, yang sayangnya mereka justru tidak hadir. ”Kami mendukung supaya penyelesaian kasus ini di atas meja. Tidak ada lagi blokade jalan. Kami tidak ingin Buleleng dicap sebagai daerah panas,” ujar Agus Suradnyana yang mantan Ketua Komisi III DPRD Bali tiga kali periode.
Sedangkan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali, Heri Santoso, yang hadir dalam pertemuan kemarin, juga menyatakan tanah asset Pemprov di Desa Sumberkelampok tidak bisa diutak-atik lagi. Dia menegaskan, tanah di Sumberkelampok sebagai bekas hak barat sudah dinasionalisasi sesuai dengan Undang-undang Nomor 86 Tahun 1959 yang dijunctokan lagi dengan PP 8 Tahun 1953. “Tanah di Sumber Kelampok itu bukan tanah negara, tapi aset Pemprov Bali. Tolong dibedakan. Kalau tanah negara bisa dimohonkan dengan hak priroritas bagi mereka yang sebelumnya menempati. Kalau tanah aset Pemprov tidak bisa seperti itu,” tegas Heri Santoso. Bagaimana dengan tanah yang sempat dikelola veteran melalui PT Margarana? “Tanah yang dikelola PT Margarana itu kan sudah habis masa HGU (hak guna usaha)-nya tahun 1993.
Itu tidak ada kaitannya lagi,” katanya. Menurut Heri Santoso, tanah di Sumberkelampok yang luasnya 418 hektare juga bukan tanah telantar, karena sudah dinasionalisasi sebagai tanah aset Pemprov Sementara, Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya menyatakan pihaknya sudah sempat turun ke Sumberkelampok dan koordinasi dengan Kapolda Bali saat terjadi aksi pemblokiran Jalur Utama Singaraja-Gilimanuk. Bahkan, Arjaya sebenarnya kembali hendak turun ke Gerokgak, Senin kemarin. Namun, dia kemudian memilih hadiri pertemuan bahas masalah Sumberkelampok di Kantor Gubernur. Arjaya menyebutkan, ada 4 objek di Sumberkelampok. Pertama, kawasan Margarana I. Kedua, kawasan Margarana II. Ketiga, kawasan Pemuteran yang merupakan aset Pemprov Bali hasil nasionalisasi zaman pemerintahan Belanda sampai kemerdekaan. Kemudian, tanah itu diberikan kepada veteran dengan status HGU. Keempat, kawasan Darmajati yang bukan aset Pemprov Bali. Menurut Arjaya, tuntutan masyarakat Sumberkelampok karena ada pemahaman bahwa tanah yang mereka tempati terindikasi tanah telantar.
Padahal, tanah tersebut aset Pemprov Bali. “Gubernur diminta melepaskan tanah tersebut, adahal itu perlu persetujuan Dewan,” ujar politisi PDIP asal Sanur, Denpasar Selatan ini. Arjaya pun menawarkan solusi: masyarakat yang sudah menempati tanah turun temurun, bisa diberikan hak 4 are. Apalagi, sudah tertata, ada desa adat, dan tempat suci. Kalau tanah garapan, kata Arjaya, silakan digarap, namun ketika pemerintah memerlukan aset itu kapan saja, harus dikembalikan. Sebab, aset ini jadi temuan terus. Sementara itu, anggota Fraksi Golkar DPRD Bali Wayan Gunawan, yang hadir dalam pertemuan kemarin, meminta Kapolda mengusut kasus Sumberkelampok. Harus diusut siapa di belakangnya. “Masa cuma karena tanah 4 are dan lahan garapan, sampai memblokade jalan lintas kabupaten? Saya rasa tidak sesederhana itu.
Kalau harus ada proses hukum, ya roses hukum. Kalau pemerintah wajib memberikan tanah, ya silakan. Cuma, ada apa di balik ini?” ujar Gunawan. Anggota DPRD Balinnya dari Dapil Buleleng, Gede Ngurah Wididana alias Pak Oles, juga mengingatkan kasus Sumberkelampok adalah letupan kecil. “Ini bagian kecil saja. Karenanya, nanti bentuk Pansus saja, harus ada mediator. Bali harus aman dan damai,” tegas politisi Hanura ini. Kasus Sumberkelampok sudah terindikasi pidana, karena ada pelanggaran hukum menganggu ketertiban umum. Namun, Kapolda Bali Irjen Irjen Albertus Julius Benny Mokalu menegaskan pihaknya masih melakukan pendekatan persuasif. “Ini sesuai dengan surat edaran Kapolda dalam melakukan penegakan hukum itu dengan cara persuasif. Tapi, pelanggaran hukum seperti ini tidak boleh dibiarkan. Bali akan tercoreng kalau kasus-kasus seperti ini jika dibiarkan,” tegas Kapolda.
sumber : NusaBali