DENPASAR - Di zaman kaliyuga ini, banyak terdapat masyarakat yang iri ketika melihat tetangganya hidup sukses.
Meskipun kesuksesan tersebut diraih dengan kerja keras, bahkan sampai mengadu nasib ke luar kota hingga ke luar negeri.
Selama merantau itu, tentu mereka cenderung tidak bisa menyama braya atau mengikuti kegiatan di desa pakraman.
Sebab terhalang waktu dan jarak.
Sayangnya, hal inilah yang dijadikan senjata oleh umat-umat yang memiliki pikiran dengki.
Yakni, diancam ketika mati nanti, tidak akan diberikan setra (kuburan), dan ritual pengabenanya tidak akan dibantu.
Sangat disayangkan, hal seperti ini kerap terjadi.
Bahkan mereka yang mentalnya lemah, memilih berhenti dari pekerjaannya yang sudah mapan di luar kota, lalu pulang ke kampung halamannya menjadi pekerja serabutan.
Tidak lain, hanya agar bisa mengikuti kegiatan di kampungnya, agar saat mati mayatnya diperlakukan layak oleh krama di kampungnya.
Keadaan tersebut membuat umat Hindu tidak bisa maju.
Bahkan, tidak sedikit yang meninggalkan agama Hindu karena masalah ini.
Sebab tidak dipungkiri, ini membuat umat berpikir bahwa agamanya tidak memberikan kebebasan.
Mengubah sifat dengki masyarakat sangatlah sulit.
Maka solusinya adalah tempat krematorium yang dikelola oleh manajemen.
Bahkan kalau bisa, setiap desa pakraman, khususnya di Denpasar memiliki manajemen krematorium.
Sebab di Denpasar sangat banyak kaum urban.
Bila ini terwujud, tentu pahala Denpasar sangat besar.
Karena, selain menolong umat, juga dapat membuka lapangan pekerjaan.
Sebab krematorium sama seperti ngaben.
Di sana ada upakaranya, yang berbeda hanya tempatnya saja.
Apakah ngaben di tempat krematorium tidak mengancam budaya Bali?
Agama hadir selalu memakai baju budaya. Sementara melalui agama, budaya akan bermakna.
Budaya itu apa? Tidak lain adalah gaya hidup umat manusia.
Dari zaman kertayuga hingga kaliyuga, gaya hidup manusia tidak stagnan. Selalu mengalami perubahan.
Karena itu, jangan pernah ada kalimat ‘budaya terancam’.
Sebab budaya memang berubah-ubah mengikuti zaman.
Ada peribahasa yang mengatakan, “Memang enak berenang-renang di lautan tradisi, tapi kalau sampai tenggelam itu tolol namanya’’.
Budaya boleh berubah, tapi yang harus tetap dipertahankan adalah esensinya atau ajaran agamanya.
Dalam kremasi, apa esensinya? Yakni upakaranya.
Karena itulah, di tempat krematorium harus tetap ada ritual upakaranya.
Selama ini, tidak sedikit adanya pihak yang mengkritik adanya krematorium.
Menurut Peranda, mereka merupakan orang yang tak sengaja ingin menghancurkan agama Hindu.
Sebab mereka hanya mengkritik tanpa memberikan solusi.
Tepatnya, mereka yang suka mengkritik itu, hanya orang-orang yang suka menyusahkan umat.
Perlu diingat, krematorium itu bila digelar di tegalan, lapangan dan di mana pun, asalnya di tempat itu dibuatkan Pura Prajapati.
sumber : tribun