Senin, 17 Oktober 2011, 08:29
DPRD Bali Ngaku Diteror dalam Ungkap Kasus Hotel Mulia
DENPASAR - Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya mengatakan dirinya bersama rekan kerjanya Wayan Disel Astawa yang juga adalah Ketua Pansus RTRW Bali mendapat banyak terror berupa ancaman untuk menghentikan pengusutan kasus
investasi yang dilakukan oleh Djoko Tjandra di Bali.
"Ancaman tersebut datang baik melalui telp, SMS, bahkan ada yang ingin mendatangi langsung ke rumah. Mereka mengaku aparat dari kejaksaan, kepolisian, penguasa, sampai dari preman," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Mengungkap Sisi Gelap Investasi di Bali" di Gedung KNPI Bali Denpasar, Minggu (16/10).
Arjaya mengaku, tekanan dan teror seperti itu sama sekali tidak menciutkan nyalinya untuk terus berjuang mengungkapkan kasus pembangunan hotel milik Djoko Tjandra di Bali. Kasus ini menyentuh rasa keadilan masyarakat karena Djoko adalah buronan kasus korupsi, tetapi masih bisa mengivestasikan uang untuk pembangunan hotel di Bali.
Pejabat lokal Bali juga dinilai ikut bermain untuk memuluskan proses perizinan tersebut. Padahal untuk masyarakat kecil, proses perizinan untuk membangun rumah tinggal saja sangat sulit.
"Kalau kita meneliti dokumennya, ada surat yang ditandatangani pada hari libur atau hari Minggu. Untuk melayani kepentingan pemodal, pejabat rela masuk kantor pada hari libur. Sedangkan untuk masyarakat
umum, jangankan pada hari libur, pada hari kerja saja masih dipersulit," ujarnya.
umum, jangankan pada hari libur, pada hari kerja saja masih dipersulit," ujarnya.
Hal senada disampaikan Wayan Disel Astawa. Ia mengaku jika rumahnya didatangi oleh tim yang mengaku dari Mabes Polri terkait kasus Djoko Tjandra beberapa waktu lalu. Tim tersebut menjelaskan kedatangan mereka ingin mendapatkan sejumlah data terkait kasus Djoko Tjandra.
"Saya bertanya data yang mana, karena tidak semua data harus saya berikan karena saya belum kenal siapa mereka," ujarnya.
Baik Arjaya maupun Disel Astawa mengaku saat ini beberapa anggota DPRD Bali yang fokus mengungkap kasus Djoko Tjandra mendapatkan banyak tekanan. Semua pihak yang menekan tersebut mengaku dari pusat.
"Banyak sekali yang meminta agar kasus tersebut dihentikan dan tidak diperpanjang karena masih banyak masalah lain yang lebih penting untuk segera diselesaikan," ujar Arjaya.
Arjaya berjanji, jika kasus ini dipetieskan dengan berbagai macam tekanan, maka dirinya akan mengungkap belasan kasus lain yang juga merupakan hasil investasi Djoko Tjandra di Bali seperti di Gianyar, Denpasar, dan beberapa lokasi lainnya di Bali.
IMB Balik Nama Saat Hari Libur
Kasus proyek Hotel Mulia Resort di Pantai Geger, Desa Adat Peminge, Kecamatan Kuta Selatan, Badung yang diduga milik buron koruptor BLBI Joko Soegiarto Tjandra, dibedah dalam sarasehan di Gedung KNPI Bali, Minggu (16/10). Terungkap, IMB dibalik nama dan keluar pas hari libur. Para tokoh pun sepakat agar proses perizinan proyek Joko Tjandra diusut tuntas, biar ke depan ada keadilan izin usaha bagi krama lokal.
Bedah kasus proyek hotel mewah milik buron koruptor BLBI yang digelar KNPI Bali kemarin dihadiri pula aktivis antikorupsi nasional, Fadjroel Rahman. Dalam sarasehan bertajuk ‘Mengungkap Sisi Gelap Investasi di Bali’ yang dipandu Nyoman Wiratmaja ini, hadir pula sederet tokoh lokal seperti Cokorda Gede Atmaja (pengamat hukum, sosial, politik dari UNR Denpasar), Ngurah Karyadi (aktivis LSM), Wayan Gendo Suardana (aktivis dari Walhi Bali), Nyoman Mardika (aktivis LSM dari Koalisi Masyarakat Anti Korupsi), AKPB Yudi Hartanto (dari Polda Bali), hingga Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya dan Ketua Pansus Penyempurnaan Perda RTRW DPRD Bali Wayan Disel Astawa.
Aspirasi yang terangkum dari sarasehan kemarin, kasus lolosnya perizinan proyek hotel mewah milik buron koruptor BLBI ini harus diusut tuntas. Sisi gelap proses perizinan hotel yang diduga dibangun dari duit korupsi uang rakyat mesti dibuka dari A sampai Z. Ini dimaksudkan agar nantinya ada keadilan bagi setiap masyarakat lokal yang mengajukan izin, bukan hanya dinikmati pemilik modal.
Informasi yang didapatkan Fadjroel Rahman, perkembangan kasus proyek hotel yang diduga milik Joko Tjandra ini sudah dalam tahap penyelidikan Mabes Polri. Bahkan, menurut dia, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan tidak menutup kemungkinan statusnya ditingkatkan ke tahap penyidikan. “Mabes Polri kemungkinan akan tingkatkan statusnya jadi penyidikan,” beber Fadjroel.
Sempat terjadi debat sengit antara Fadjroel vs AKBP Yudi Hartanto. Fadjroel awalnya mempertanyakan buron BLBI seperti Joko Tjandra sampai bisa menginvestasikan uangnya di Bali. Padahal, orang termasuk politisi partai pastinya mengenal Joko Tjandra. Tapi, Yudi Hartanto menegaskan tidak semua orang tahu Joko Tjandra adalah buronan BLBI. “Tapi, polisi pasti tahu Joko Tjandra,” tangkis Fadjroel. “Polisi juga manusia,” jawab Yudi Hartanto.
Fadjroel kemudian memaparkan, Joko Tjandra sebenarnya sudah ditetapkan menjadi buronan sejak 11 Juni 2009. “Joko Tjandra resmi buronan sejak 11 Juni 2009 dengan keputusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Karena itu, lanjut Fadjroel, tidak diragukan lagi bahwa proses perizinan proyek Joko Tjandra hingga kemudian balik nama IMB dari Joko Tjandra ke Viady Sutojo banyak kejanggalan. “Izin tersebut (balik nama IMB) ditetapkan 29 Maret 2011 dari Joko Tjandra ke Viady Sutojo, ini menjadi bukti,” tegas Fadjroel.
Dipaparkan Fadjroel, dari 42 burup koruptor di Indonesia, hanya Joko Tjandra yang bisa lolos berinvestasi di dalam negeri dan ini terjadi di wilayah Badung. “Entah siapa fasilitatornya, pejabat atau siapa yang membantu Joko Tjandra? Sedangkan 41 buron koruptor lainnya, termasuk Edy Tanzil tidak bisa menginvestasikan uangnya di Indonesia,” beber Fadjroel.
Sementara, Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya menegaskan pihaknya tetap komit untuk mengungkap semua kasus, tanpa tebang pilih. Untuk kasus proyek hotel Joko Tjandra, menurut Arjaya, ada tekanan kuat dari berbagai arah. Tapi, pihaknya jalan terus. “Kalau mau buka-bukaan, ayo sama-sama. Gendo Saurdana, ayo bersama-sama saya kalau mau buka-bukaan. Untuk kasus, saya mantan Ketua Pansus Aset DPRD Bali, sudah ada berapa hektare aset Bali di Pecatu Graha yang kami selamatkan. Kasus Serangan, ayo buka-bukaan,” jelas Arjaya.
Ditegaskan Arjaya, dalam kasus proyek Joko Tjandra, konteksnya bukan lagi persoalan yang substansi adalah buronan bisa membangun hotel. Proses perizinannya pun janggal. “IMB dibalik nama dan keluarnya di hari libur. Pejabat yang meloloskan ini etikanya di mana? Ini membuktikan bahwa orang yang punya uang saja yang bisa mengatur,” tandas politisi militan PDIP asal Sanur, Denpasar Selatan ini. “Kami akan ungkap kasus yang lain. Sekadar diketahui, mohon maaf, tekanan dari mana-mana, dari segala arah, tapi kami akan tetap ungkap,” imbuhnya.
Sedangkan Gendo Suardana menyatakan kasus proyek Hotel Mulia Resort hanya salah satu contoh kasus ivestasi di mana calo kelas tinggi bermain. Dia meminta kasus-kasus serupa lainnya juga diangkat, seperti masalah pembangunan Bali International Park (BIP). Gendo juga mengaku setuju kalau Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya dan Disel Astawa selaku Ketua Pansus Penyempurnaan Perda RTRW Dewan menegakkan aturan main soal kawasan suci, bhisama, dan UU Tata Ruang, termasuk penerapan moratorium hotel dikaitkan dengan BIP. “Jangan sampai ada ketidakadilan di sini,” pintanya. Pernyataan Gendo langsung ditanggapi Disel Astawa. Menurut politisi PDIP asal Kuta Selatan ini, dalam penerapan aturan Perda, DPRD Bali dan Pemprov Bali sifatnya berfungsi sebagai arahan dan pengawasan saja. Pelaksananya tetap kabupaten dan kota. Soal izin dan IMB pun, kata Disel, ada di kabupaten/kota.
“Sistem yang harus dibenahi, supaya bisa memberikan rasa adil kepada masyarakat. Termasuk, Perda RTRW juga harus memberikan keadilan bagi masyarakat. Kami tidak membela BIP, tidak membela siapa-siapa,” tandas Disel.
Pada acara yang sama, pengamat hukum, sosial, dan politik Cokorde Gede Atmaja menyatakan kasus lolosnya proyek hotel mewah di Pantai Geger membuktikan bahwa pengusaha yang punya uang masih berkuasa dan bisa mengatur semuanya, sementara kesejahteraan hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat.
“Kesejahteraan di Indonesia itu dinikmati oleh pengusaha dan keluarganya, serta penguasa serta orang-orang kaya dan keluarganya. Barulah setelah itu, kesejahteraan dinikmati rakyat. Ini yang sekarang terjadi di Indonesia, sehingga terlihat sekali dominasi pengusaha dan penguasa itu,” tegas Cok Atmaja. Menurut tokoh dari Puri Negara, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini, masuknya pemodal-pemodal besar ke Bali telah menggerus etika. Kasus proyek hotel Joko Tjandra dianggap jadi kasus paling menarik, di mana pengusaha dan orang kaya sangat berkuasa dan bisa membuat segala-galanya. Karena itu, Cok Atmaja mendukung upaya DPRD Bali mengungkap tuntas kasus ini. “Kita siap mengawal. Saya paling berani dan paling sering menegur Arjaya, kalau dia melenceng,” katanya.
Sementara itu, puluhan aktivis dari berbagai elemen organisasi yang tergabung dalam Forum Peduli Gumi Bali menggelar aksi di Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Denpasar, Minggu kemarin. Dalam aksinya, mereka berputar keliling lapangan dengan naik sepeda sambil menenteng poster berisi penolakan terhadap megaproyek BIP dan stop pembangunan Hotel Mulia Resort.
“Selamatkan Bali, moratorium sekarang juga, tolak BIP, hentikan Hotel Hulia,” ujar Jubir Aksi, Haris, dalam orasinya. Disebutkan, perkembangan pariwisata di Bali tidak diimbangi dengan usaha untuk menjaga keindahan dan kelestarian alamnya. Investror seringkali menanamkan modal dengan cara yang tidak ramah lingkungan. “Misalnya, sempadan pantai, ruang terbuka hijau, lahan pertanian, bahkan jurang pun disulap menjadi sarana akomodasi pariwisata,” imbuhnya.
Dari data yang dimiliki forum ini, kata Haris, ekspansi industri pariwisata di Bali sudah over kapasitas. Hingga Desember 2010 lalu, telah terjadi kelebihan kamar hotel dan vila mencapai 9.800 unit. Celakanya, kelebihan kamar itu tanpa adanya daya dukung seperti sumber air. “Berdasarkan sebuah riset, Bali akan krisis air mencapai 27,6 miliar meter kubik pada tahun 2015,” bebernya.
Mahasiswa dan Aktifis Demo Tolak Hotel Mulia
DENPASAR - Mahasiswa dan LSM yang tergabung dalam FPGB (Forum Peduli Gumi Bali) menggelar aksi "Gowes untuk Moratorium" di areal Puputan Renon Denpasar, Minggu (16/10).
Mereka bersepeda sambil mengalungkan poster yang berisi tuntutan "Selamatkan Bali", "Moratorium sekarang juga", "Tolak Bali International Park" dan "Hentikan Hotel Mulia milik Djoko Tjandra".
"Aksi ini bertujuan untuk menegaskan kebutuhan Bali akan moratorium pembangunan pariwisata yang sudah menumpuk" ujar I Putu Hery Indrawan, koordinator aksi.
Selain itu, FPGB juga menyatakan penolakan terhadap pembangunan Bali International Park (BIP) dan Hotel Mulia milik
Djoko Tjandra.
Menurutnya, Penelitian Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bersama Universitas Udayana menunjukkan pada Desember 2010, Bali telah mengalami kelebihan kamar mencapai 9.800 kamar.
"Pembangunan fasilitas berlebih akan menyebabkan kerugian secara sosial dan ekologis karena tidak mempedulikan
daya dukung lingkungan," tegas Hery.
Moratorium pembangunan akomodasi pariwisata dipandang hal yang mendesak dilakukan guna menghindarkan Bali
dari overcapacity akomodasi pariwisata.
"Jeda pembangunan ini digunakan untuk menyusun langkah menangani krisis ekologis yang sudah di depan mata," tambah Haris selaku Humas Aksi.
Dalam aksi ini, FPGB menuntut penghentian Hotel Mulia di Pantai Geger yang dinilai telah merusak kelestarian lingkungan. FPGB menilai Pembangunan hotel tersebut dilakukan secara semena-mena sehingga membuat Pantai Geger yang semula indah dan asri menjadi suram dan terdegradasi.
Bukit dipotong-potong menjadi tebing kapur. Pesisir pantai diurug dengan batu kapur sehingga mencemari pantai yang menyebabkan rusaknya rumput laut budidaya petani. Sempadan pantai pun juga dicaplok dengan memasang seng dan timbunan batu kapur sehingga merugikan aktivitas publik terkait dengan sosio religious, ekonomi dan pariwisata.
"Selain penghentian, kami menuntut agar sempadan pantai geger dibersihkan dari timbunan material yang mengganggu akses publik," tegas Haris.
FPGB juga mempertegas penolakan terhadap pembangunan Bali International Park untuk sarana KTT APEC XXI di Bali. Pembangunan BIP dipandang menambah beban ekologis Bali dan bermasalah dalam persoalan agraria.
"Kita menolak megaproyek yang bersembunyi di balik event-event tertentu (KTT APEC)," ujar Hery.
Selain bersepeda, FPGB juga menyebarkan selebaran kepada masyarakat. Aksi "Gowes untuk Moratorium" ini mengundang perhatian masyarakat yang tengah beraktivitas di seputaran Monumen Bajra Sandhi.
Bahkan beberapa orang, terlihat ikut meneriakkan tuntutan yang disuarakan hingga aksi selesai.
Dre@ming Post___________
sumber : NusaBali, MICOM