SINGARAJA - Gubernur Bali Wayan Koster telah meminta Pemkab Buleleng mengindentifikasi lahan yang bakal dijadikan lokasi Bandara Internasional Buleleng di kawasan Bukit Teletubbies, Desa/Kecamatan Kubutambahan.
Indentifikasi tersebut hanya memastikan koordinat posisi lahan. Informasi di lapangan, surat permintaan identifikasi lahan rencana pembangunan bandara tersebut sudah dilayangkan Gubernur Koster kepada Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, 22 Februari 2019 lalu. Dalam surat itu, Gubernur Koster intinya meminta data tanah lokasi proyek bandara yang ada di Desa Kubutambahan. Data dimaksud menyangkut letak, luas, penguasaan fisik tanah, dan status tanah.
Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana pun telah menindaklanjuti surat Gubernur Koster tersebut, dengan memohon bantuan kepada Badan Pertanahan Negara (BPN) Buleleng untuk mengindentifikasi lahan lokasi bandara di wilayah Desa Kubutambahan. Betulkah?
Ditemui seusai menghadiri sidang paripurna DPRD Buleleng di Gedung Dewan, Jalan Veteran Singaraja, Senin (11/3), Bupati Agus Suradnyana membenarkan pihakya diminta Gubernur Koster untuk menelususri data tanah yang akan dijadikan lokasi bandara. Bupati Agus Suradnyana mengatakan, surat tersebut diterima sebelum Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1941, Kamis (7/3) lalu. Pihaknya pun telah menindaklanjuti surat Gubernur Koster dengan meminta BPN Buleleng menelusuri data tanah yang akan dijadikan lokasi pembangunan bandara.
“Kalau tidak salah, suratnya masuk ke saya sebelum Nyepi. Setelah libur Nyepi, saya sudah teruskan ke BPN untuk menelusuri keberadaan tanah di sana (Kubutambahan, Red). Bagaimana hasilnyanya, kita masih tunggu,” jelaa Agus Suradnyana.
Menurut Agus Suradnyana, mencermati surat Gubernur Bali yang diterimanya, penelusuran (identifikasi lahan) dilakukan untuk mengetahui kepastian luas tanah yang ada sekarang. Selain itu, kuga koordinat dan batas-batas penyanding-nya juga perlu diketahui dengan pasti. Data yuridis ini nantinya akan dilaporkan kepada Gubernur Koster melalui surat jawaban.
“Perkembangan yang terbaru hanya itu, kami diminta mencari tahu di mana letak koordinat tanahnya, lintang berapa, siapa di sebelahnya (penyanding, Red)? Kalau datanya sudah terkumpul, kami akan langsung menjabwab surat Gubernur tersebut,” tegas Bupati asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPC PDIP Buleleng ini.
Sementara itu, Kepala BPN Buleleng, I Gusti Ngurah Pariatna Jaya, mengaku hingga saat ini belum menerima surat dari Pemkab Buleleng, terkait dengan rencana indentifikasi lahan lokasi bandara di Desa Kubutambahan tersebut. Meski demikian, pihaknya akan menindaklanjuti jika surat permohonan tersebut sudah diterima. “Kami belum terima suratnya, belum bisa menjelaskan. Nanti kalau ada suratnya, kami tindaklanjuti,” ujar Pariatna Jaya saat dikonfirmasi secara terpisah di Singaraja, Rabu kemarin.
Untuk diketahui, Desa Pakraman Kubutambahan memiliki lahan duwen Pura Desa seluas 425 hektare, yang berlokasi di dua banjar adat, masing-masing Banjar Adat Kubuanyar dan Banjar Adat Tukad Ampel. Dari total lahan adat tersebut, seluas 370 hektare disewakan kepada PT Pinang Propertindo yang beralamat di Jakarta dengan status Hak Guna Bagunan (HGB), sejak tahun 1991 silam.
PT Pinang Propertindo mengontrak dengan sewa sebesar Rp 300 per meter persegi, selama 30 tahun dan bisa diperpanjang lagi. Konon, PT Pinang Propertindo rencananya membangun sarana prasarana pendukung pariwisata, seperti hotel dan lapangan golf, di lahan tersebut. Namun, sejak dikontrak hingga saat ini tidak ada aktivitas apa pun. PT Pinang Propertindo kemudian memperpanjang kontrak hingga 3 kali sampai tahun 2026.
Kelian Desa Pakraman Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, menyebutkan ada beberapa alasan mengapa lahan duwen Pura Desa itu dikontrakkan kepada pihak ketiga selama 90 tahun. Pertama, lahan milik adat itu sebagian besar termasuk seluas 370 hektare, merupakan lahan kering dan kurang produktif, sehingga tidak banyak memberikan pemasukan/pendapatan bagi adat. Di sisi lain, tanggungan adat untuk pembangunan pura dan pelaksanaan upacara cukup tinggi.
“Selama ini, krama adat memang tidak pernah dibebani peturunan (iuran untuk biaya upacara, Red), karena memiliki tanah duwen pura yang luas. Tetapi, karena hasilnya tidak mencukupi lantaran lahan kurang produktif, sehingga tanah adat itu dikontrakkan. Jadi, sewanya itu dipakai membiayai pelaksanaan upacara termasuk perbaikan pura,” terang Jero Pasek Warkadea.
Selain menyangkut dana, Jero Pasek Warkadea juga mengakui dalam sewa kontrak itu ada kewajiban bagi PT Pinang Propertindo untuk membuatkan sertifikat lahan milik adat. Saat ini, semua lahan adat seluas 425 hektare sudah bersertifikat, baik HGB maupun sertifikat hak milik atas nama Desa Pakraman Kubutambahan.
“Kalau tidak ada sewa kontrak itu, mungkin saja tanah adat tersebut tidak punya sertifikat. Sekarang semuanya sudah ada sertifikatnya,” ungkap tokoh adat yang kini masih menjabat sebagai Staf Ahli Bupati Buleleng ini.
Di sampung membuatkan sertifikat, PT Pinang Propertindo juga memberikan keleluasaan bagi warga stempat untuk mengolah lahan seluas 370 hektare. Hasil dari tanaman sebagian juga diserahkan kepada adat. “Warga kami juga diberikan mengolah lahan itu. Warga berkewajiban menyetorkan sebagian hasilnya ke adat. Cuma, lahan itu bisa ditanami ketika musim hujan. Kalau musim kemarau, lahannya kering,” imbuhnya.
sumber : nusabali