Ilustrasi jalan yang melewati tempat keramat |
DENPASAR - “Tiang nyelang margi (saya izin lewat),” begitu kata seorang Hindu Bali yang kebetulan lewat menggunakan sepeda motor di sebuah tikungan yang dihuni oleh rerimbunan bambu dan pelinggih kecil dibalut kain berwarna poleng (red: hitam putih). Sembari membunyikan klakson, ia lewat dengan bibir berkomat-kamit.
Tindakan itu pun turut diikuti oleh beberapa orang orang yang kedapatan mendengar suara klakson itu saat lewat di tempat tersebut. Sementara, seorang lainnya tampak lewat begitu saja tanpa membunyikan klakson.
Sebagai orang Hindu Bali yang pernah melakukan tindakan membunyikan klakson ketika lewat di tempat yang angker atau dianggap keramat, pernahkah anda berhenti sejenak dan merenungkan hal tersebut? Mengapa anda melakukan itu? Siapa yang menginstruksikan? Apakah akan ada yang marah jika anda tidak melakukan hal tersebut?
Berangkat dari rasa penasaran tersebut, coba menanyakan langsung fenomena yang seakan menjadi budaya itu pada beberapa orang Hindu Bali yang telah berpengalaman dalam bidang kerohanian. Masing-masing dari mereka yaitu, Ida Bagus Putra Manik Aryana. S.S., M.Si., selaku Dosen bidang studi Agama Hindu dan Kesusastraan Bali di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja, dan Ni Made Ari Dwijayanthi, selaku Penyuluh Bahasa Bali (di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi Bali) di Desa Tibubiu, Tabanan.
Menurut Ida Bagus Putra Manik Aryana yang akrab disapa Ajik Manik, dirinya berpendapat bahwa kebiasaan tersebut lahir lantaran masyarakat Hindu Bali percaya akan adanya alam niskala (red: tidak terlihat), alam Dewa, dan penghuni lainnya.
“Masalah kapan pertama kali terjadi, sejak manusia percaya akan adanya alam niskala. Untuk klakson, ya sejak kendaraan bermotor dimiliki oleh orang Bali. Bentuk lampaunya adalah ucapan ‘tiang nyelang margi’ atau sikap mencakupkan tangan di dada, tanda hormat,” papar Ajik Manik.
Hal itu juga didukung oleh Ari Dwijayanthi yang memandang bahwa hal itu dilakukan atas dasar keyakinan yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Hindu Bali untuk membunyikan klakson sebagai tanda ‘permisi’ ketika lewat di tempat keramat/angker.
“Karena keyakinan. Jika orang yakin maka mereka lakukan itu. Sejak saya lahir, itu sudah ada. Ini sama seperti tradisi lisan yang turun temurun, kemudian menjadi keyakinan bersama, dan akhirnya menjadi norma” ungkap Ari.
Sejauh ini, menurut keduanya, belum pernah dijumpai literatur tertulis yang menjelaskan mengenai fenomena membunyikan klakson, kendati mereka juga pernah melakukan hal serupa.
“Yang tersurat menyatakan harus membunyikan klakson belum pernah Ajik lihat. Tapi, kitab yang menyatakan akan adanya alam niskala, ada pada banyak kitab, antara lain, Tutur Catur Sanak, Purbhosomi, Agastya Parwa, Siwa Samhita, Nirwana Tantra, Sarasamuscaya, dan hampir semua Purana membahasnya,” tambah Ajik Manik.
Lalu, apa yang akan terjadi jika orang Hindu Bali tidak meminta izin atau mengklakson ketika lewat di tempat-tempat tersebut?
Ari pun dengan tegas menjawab, “Tentang ancaman akan terjadi sesuatu, kalau yakin ya terjadi, kalau tidak ya tidak terjadi. Manusia kadang mengait-ngaitkan Tuhan atau penunggu itu memiliki sifat seperti dirinya. Jadi ya, Tuhan marah kalau kita gak gini, gak gitu. Padahal, itu refleksi dari dirinya sendiri. Sesekali cobalah mengubah keyakinan. Hasilnya akan mengejutkan.”
Sementara, Ajik Manik lebih menekankan untuk menghargai alam atau makhluk lain yang paralel dengan manusia, “Tuhan menciptakan alam semesta tidak hanya untuk manusia. Makhluk lain, entah dia kasat mata atau tidak, memiliki hak juga untuk semesta ini,” tandasnya.
Demikian adalah jawaban yang telah dihimpun perihal fenomena membunyikan klakson ini. Lalu, apa pendapat anda sebagai orang yang pernah melakukan hal serupa?
sumber : Nusabali