Fenomena tanah bergerak dan likuifaksi akhir-akhir ini menjadi perhatian banyak orang usai adanya gempa bumi dan tsunami di Palu.
Betapa mengerikannya fenomena geologi tersebut hingga menyebabkan kawasan perumnas di Petobo, Palu Selatan, Sulawesi Tengah amblas ke dalam tanah.
Diperkirakan ada ribuan orang yang tak sempat menyelamatkan diri kini terkubur di dalam lumpur yang mulai mengeras.
Melansir Wikipedia, Likuifaksi atau soil liquefaction adalah pencairan tanah.
Fenomena ini terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, seperti halnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat.
Menurut Sekretaris Badan Geologi KESDM, Antonius Ratdomopurbo, fenomena likuifaksi seperti yang terjadi di Palu awalnya disebabkan oleh gempa bumi yang bersumber dari Sesar Palu Koro.
Sesar ini aktif dan bergerak dengan kecepatan 4 sentimeter per tahun. Dimana menurutnya itu adalah pergerakan sesar tercepat di Indonesia.
“Pergerakan sesar ini jarang tapi cepat. Beda seperti di Lombok atau Flores yang gerakannya lebih sering namun sedikit demi sedikit,” ujarnya Kamis malam,(4/10/2018) di Denpasar, Bali.
Purbo pun menjelaskan bahwa memang sejak dahulu telah dipetakan mengenai potensi Likuifaksi di Palu.
Hal ini dapat dilihat dari struktur batuan bawah tanah di Palu yang cenderung berbentuk bulat-bulat dan ikatannya tidak kuat.
Batuan utama penyusun wilayah kota Palu pada lapisan atasnya didominasi oleh batuan molasse (hasil dari erosional batuan dasar) dan endapan alluvium serta endapan fluvial dari sistem sungai Palu yang relatif belum kompak.
“Saat ikatannya ini tidak kuat lalu terjadi gempa maka akan lepas semua, ditambah di dalamnya terdapat unsur air maka ketika gempa akan larut dan berubah seperti bubur, bangunan semen dan beton di atasnya pun akan langsung amblas.Tidak bisa dihindari,”, terangnya.
Ia menyebut potensi fenomena seperti ini bisa terjadi di mana saja di Indonesia.
Bagaimana Dengan di Bali?
Sekretaris Badan Geologi KESDM, Antonius Ratdomopurbo, saat menjelaskan tentang gempa Palu di kantor BPBD Provinsi Bali, Kamis (4/10/2018) |
Namun ia menyebut di Bali, relatif sulit terjadi likuifaksi.
Hal ini disebabkan adanya material batuan paras yang berasal dari Gunung Batur. Stuktur batuan paras dari Gunung Batur ini menurutnya sangat khas dan kuat.
Hal itu karena bentuknya adalah batuan pasir yang runcing.
“Itu sangat khas di Bali. Parasnya ini runcing-runcing sehingga ikatannya sangat kuat dan tak mudah lepas apabila terjadi guncangan atau gempa. Berbeda dengan keadaan di Palu,” tegasnya.
Likuifaski akan berpotensi besar terjadi di daerah yang jarang terdapat pasir gunungnya.
Purbo juga menambahkan, untuk menghindari ancaman likuifaksi caranya adalah jangan membangun rumah atau pemukiman di jalur sesar aktif atau di titik-titik yang berpotensi terjadinya tanah bergerak.
Yang harus diperhatikan menurutnya adalah peta kerawanan bencana likuifaksi, sehingga dari situ dapat ditentukan bagaimana tata ruang yang harus diterapkan pemerintah.
“Bagaimana caranya harus diperhatikan tata ruang dan bangunannya. Lokasi pemukimannya bisa digeser di titik yang tidak rawan likuifaksi,” tandasnya.
sumber : tribun