Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda |
Hari Raya Galungan secara upacara, tetap sama dari masa ke masa. Namun yang berbeda adalah kandungan di balik upacara, yakni spirit dan nilai.
Agama kita yang bersifat material, telah banyak memberikan umatnya sebuah tatanan yang humanis atau memanusiakan manusia.
Sekarang tugas kita adalah menuntun nilai-nilai tersebut pada kehidupan bermasyarakat. Maka kita akan memasuki konsep ruang dan waktu, yakni mampu menghadapi tantangan dan tuntutan zaman. Sehingga spirit Galungan menjadi hidup, dan menjadi sebuah kebutuhan dasar.
Namun yang terjadi saat ini, umat memang tetap melaksanakan Galungan. Tetapi nilai-nilai yang ada tidak diejawantahkan.
Satu contoh, tidak ada upaya pembersihan diri. Permbersihan diri yang dimaksud bukan dalam bentuk mandi air. Tetapi membersihkan diri dari tindakan atau perbuatan tercela.
Tiga hari sebelum Galungan, yakni mulai dari hari Minggu, kita sudah digempur oleh Sang Kala Tiga.
Pada Minggu atau Penyekeban, kita diserang oleh Sang Kala Galungan. Pada Senin atau Penyajan Galungan kita ditaklukan oleh Sang Bhuta Dungulan.
Dan, pada Selasa atau Penampahan Galungan, kita dikuasai oleh Bhuta Amangkaruat.
Serangan, penaklukan dan penguasaan yang dimaksud, bukan secara fisik, tetapi penggempuran akal sehat manusia yang berakibat pada kemiskinan.
Kemiskinan yang dimaksud, bukan hanya kemiskinan material, tetapi juga miskin intelektual dan miskin rohani.
Kondisi inilah yang menyebabkan banyak orang yang hidup makmur, tetapi tidak memiliki jiwa kedharmawanan.
Orang-orang seperti inilah yang sangat berbahaya. Karena di sana melahirkan kekerasan secara simbolik.
Penting kita ketahui, bahwa kondisi tersebut terjadi, jika kita tidak membentengi diri dengan tiga hal, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan spiritual.
Di era politik Pilkada dan Pilgub ini, sangat mudah mengamati orang-orang yang sudah dikuasai Sang Kala Tiga ini.
Orang yang saling melontarkan ujaran kebencian, dan mencari-cari kesalahan orang lain hanya karena politik, mereka-mereka itulah orangnya.
Kalau proses politik saja, kan hanya dalam beberapa bulan saja. Tapi kalau terus terjadi hal buruk seperti ini, berapa banyak kita harus menabung dosa-dosa?
Sang Bhuta Amangkurat, sebagai simbol menang sendiri yang datang saat Penampahan Galungan, silahkan saja. Tapi kita harus bisa mengubah sifat menang sendiri dalam arti negatif menjadi positif.
Artinya, memenangkan diri yang dimaksud, bukanlah diri secara persona dalam aspek ego. Tetapi, menang dalam arti diri yang spirit. Menangkanlah diri itu, jangan menangkan pemaksaan kehendak.
Memenangkan Sang Hyang Dharma yaitu atman sebagai sebuah kesadaran yang diberikan oleh Tuhan kepada diri kita.
Jika semua hal buruk yang datang sebelum Galungan itu bisa kita kuasai dalam bentuk positif, saat itulah kita memasuki Galungan sebagaimana arti sebenarnya, yakni memenangkan dharma melawan adhara.
Namun, jika kita belum melakukan usaha terhadap konsep-konsep pemenangan yang sebenarnya, lalu, bagaimana kita berharap merayakan Galungan?
Kalau kita sudah mengejawantahkan konsep ini, di situ kedudukan kita akan menjadi kuat. Begitu kedudukan kuat, terciptalah kemakmuran yang bermartabat.
Jika kemakmuran tidak dibangun oleh martabat spiritual, maka akan menimbulkan sebuah transaksi. “Apa yang bisa saya berikan pada anda, lalu apa yang akan anda berikan pada saya?”
Kondisi tersebut akan menjadi beban hidup kita sehari-hari, sehingga kita tidak akan mendapatkan kemahardikaan sebagaimana arti daripada Galungan itu.
Pendarmawacana: Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda
sumber : tribun