Menyingkap Berita Tanpa Ditutup Tutupi
Home » » Karena Pemberontakan Raja Gelgel Ngungsi, Pura Agung dan Pancoran Solas Buktinya

Karena Pemberontakan Raja Gelgel Ngungsi, Pura Agung dan Pancoran Solas Buktinya

Written By Dre@ming Post on Sabtu, 10 Februari 2018 | 2:00:00 PM

Pura Penataran Agung Dalem Dimade yang dulunya disebut Pura Agung Dalem Dimade atau Pura Agung.
BANGLI - Banjar Guliang Kangin, Desa Pakraman Guliang Kangin, Desa Taman Bali, Bangli yang berbatasan langsung dengan Desa Tulikup, Kabupaten Gianyar, ternyata memiliki sejarah yang erat dengan Puri Agung Semarapura, Klungkung, Bali.

Diceritakan Bendesa Adat Guliang Kangin, Ngakan Putu Suarsana, Jumat (9/2/2018), setelah berhasil menaklukkan Raja Bali Kuno di bawah kepemimpinan Patih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit akhirnya memulai ekspedisinya dengan mengirimkan seorang raja, untuk menduduki wilayah yang kosong di wilayah Samprangan (sekarang Samplangan, sebelah timur Kota Gianyar) pada tahun 1400-an.

Raja yang saat itu menduduki kerajaan bernama Sri Aji Kresna Kepakisan dengan kerajaan bernama Dalem Samprangan.

Pada generasi ketiga, kerajaan tersebut pindah ke wilayah Gelgel, Klungkung, yang bernama Swecapura hingga selanjutnya beregenerasi.

Namun pada generasi kedelapan, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Dalem Dimade (1651) terjadi pemberontakan besar-besaran yang dilakukan mahapatihnya sendiri.

Saking besarnya pemberontakan kala itu, membuat raja Dalem Dimade terpaksa harus mengungsi.

“Pelarian raja dibantu orang kepercayaan kerajaan (Manca), bernama Ida Dewa Pungakan Den Pencingah yang berasal dari Taman Bali. Menurut cerita heroiknya, beliau dipercaya memiliki kesaktian mampu membuat terowongan di belakang istana. Sehingga raja mampu melarikan diri tanpa diketahui,” ujarnya.

Lanjutnya, pelarian raja menuju ke arah barat laut, tepatnya di wilayah Desa Blahpane, Gianyar yang pada saat itu bernama Alasari.

Selama tiga hingga empat hari di pengungsian, kondisi psikologis raja terus memburuk.

Ida Bagawanta (penasihat kerajaan), saat itu melakukan meditasi untuk memohon petunjuk dari Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Saat itulah, Ida Bagawanta mendapatkan pawisik, yang mengatakan meski berada di pengungsian, sang raja harus tetap tinggal di istana.

Oleh sebab itu, dibangunlah sebuah puri (istana) sementara, serta pura kawitan (Pura Agung) yang berjarak 400 meter ke utara dari Desa Alasari, yakni Desa Tambangwilah.

Sejak saat dibangunnya puri dan pura sementara, kondisi raja perlahan mulai membaik, sehingga desa yang sebelumnya bernama Tambangwilah, diubah menjadi Guh Liang pada 1665.

Guh artinya dalam kondisi dan liang artinya senang.

“Sehingga bisa diartikan sang raja telah dalam kondisi senang, sekalipun dalam pengungsian. Namun lantaran masyarakat agak kesulitan menyebut Guh Liang, lama kelamaan akhirnya disebut Guliang,” jelasnya.

Mengenai cerita sejarah Guliang ini, kata Ngakan Suarsana sudah diakui Puri Klungkung.

Dibuktikan dengan Pura Agung serta pancoran solas yang juga dibangun sang raja pada masa pelariannya.

Begitupun saat sang raja wafat, akhirnya dipelebon di kuburan (tunon) dalem Tengaling.

Mengingat statusnya sebagai raja, meski dalam pengungsian, dibangunlah Pura Dalem Tengaling, sebagai pelebur yang fungsinya mengembalikan pada sang pencipta.

Pura Dalem Tengaling ini juga salah satu saksi sejarah.

Satu-satunya jejak peninggalan sejarah, adalah pohon Klampuak atau yang sering disebut masyarakat sekitar sebagai cenana (cendana).

Pohon ini sudah lebih dahulu ada, bahkan sebelum Pura Dalem Tengaling dibangun.

Sesuai dengan cerita kakeknya yang juga seorang bendesa, diperkirakan usia pohon ini sekitar 400 tahun.

“Istilah orang bali mengatakan ‘dapet sube keto’ artinya dia menemukan sudah sebesar ini. Dan memang dari pengamatan saya sejak SMA dulu, pertumbuhan pohon ini juga tergolong sangat lambat,” ucap pria yang kini berusia 51 tahun.

Sejak sang raja wafat, keluarga kerajaan, melalui dua putra prahmi Raja Dalem Dimade, akhirnya memutuskan mengembalikan pemerintahan seperti sedia kala, yakni di Klungkung, yang diperkirakan pada tahun 1704, berdasarkan arsip Belanda.

Upaya mengembalikan pemerintahan pun dilalui dengan perang melawan pemberontak yang menguasai wilayah tersebut, yang mendapat bantuan dari berbagai pihak, seperti dari keluarga kerajaan yang berada di Sidemen, Karangasem, Kerajaan Buleleng Panji Sakti, serta dari Kerajaan Pemecutan Kelod Denpasar.

“Pusat penyerangan komando, serta strategi dilakukan di wilayah Sidemen, Karangasem. Hingga akhirnya menang. Putra pertama sang raja, Ida I Dewa Agung Pemayun pindah ke Bukit Tampak Siring, Gianyar,” kata dia.

“Sementara putra kedua, Ida I Dewa Agung Jambe kembali ke Klungkung, namun beliau tidak mau menempati wilayah Gelgel, lantaran sempat diduduki pemberontak. Sehingga pusat kerajaan pindah ke wilayah Semarapura, Klungkung, yakni di Puri Agung Semarapura, Klungkung hingga saat ini,” jelasnya.

Wilayah Administratif Masuk Desa Taman Bali

Wilayah Guliang yang secara administratif menginduk pada Desa Taman Bali.

Sejak zaman Belanda pada 1935 silam, Desa Taman Bali dipecah menjadi dua yakni menjadi Bunutin dan Taman Bali.

Begitu dengan Guliang juga dibagi menjadi dua yaitu Guliang Kawan dan Guliang Kangin.

Guliang Kawan secara administratif masuk ke Desa Bunutin.

Sedangkan Guliang Kangin secara administratif masuk ke Desa Taman Bali.

Wilayah Banjar Guliang Kangin dihuni 232 kepala keluarga (KK) atau sebanyak 974 jiwa.

Dari jumlah tersebut terinci 102 KK arepan dan 130 KK Bala Angkep.

Perbedaannya, KK Arepan merupakan penduduk asli, sehingga jumlahnya tetap.

Sedangkan KK Bala Angkep, jumlahnya tergolong dinamis.

Perbedaan ini juga mengacu pada kewajiban.

Pada KK Arepan, warga wajib mengikuti segala kewajiban pada karang ayahan desa seperti gotong royong rutin.

Sedangkan KK Bala Angkep kewajibannya lebih ringan, dan dibutuhkan hanya pada saat-saat tertentu, seperti pembangunan pura atau upacara pengabenan.

Dan hal ini telah diatur dalam awig-awig.

“Kewajiban pada KK Arepan sifatnya 100 persen, sedangkan pada KK Bala Angkep hanya setengahnya. Misalnya terdapat pembangunan pura, di mana setiap pengempon wajib memberikan urunan dengan nominal tertentu, dalam satu pekarangan, KK Arepan wajib memberikan sumbangan 100 persen, sedangakan KK Bala Angkepan hanya memberikan setengahnya per masing-masing KK,” jelasnya.












sumber : tribun
Share this article :

Menuju Bali I 2018

Visitors Today

Recent Post

Popular Posts

Hot Post

YES!! Ignasius Jonan Umumkan Status GA Jadi Siaga KRB 4 Km

Menteri ESDM, (baju biru) beri keterangan pers soal penurunan status Gunung Agung (atas).  Bupati Karangasem serahkan HT secara simbolis ...

 
Support : Dre@ming Post | Dre@aming Group | I Wayan Arjawa, ST
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bali - All Rights Reserved
Template Design by Dre@ming Post Published by Hot News Seventeen