AMLAPURA - Inilah hasil analisis Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM terkait aktivitas kegempaan Gunung Agung.
Gempa tektonik lokal yang terus terjadi menandakan energi dari 15 juta meter kubik (M3) magma bergerak menghancurkan patahan yang labil.
"Magma itu keluar bukan terpisah-pisah, tapi satu kesatuan dan masif bergeraknya. Magma terus mencari celah rapuh untuk keluar," ungkap Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Kementerian ESDM, Devy Kamil, Minggu (1/10).
Menurut Devy, gempa tektonik lokal terjadi karena struktur patahan hancur oleh pergerakan magma. Patahan-patahan yang hancur merupakan patahan yang labil untuk bergerak, sehingga teraktivasi oleh tekanan magma. "Makanya, terjadi gempa terasa sedemikian banyak. Terbayang tidak berapa banyak magma yang bergerak?" ujar Devy yang dilansir di Pos Pengamatan Gunung Agung kawasan Desa/Kecamatan Rendang, Minggu (1/10).
Disebutkan, jumlah gempa tektonik lokal dan kekuatannya mengindikasikan adanya 15 juta meter kubik magma yang bergerak. Namun, angka itu bukan keseluruhan dari volume magma yang berada di dalam Gunung Agung. "Estimasi analisis kita sudah ada lebih dari 15 juta meter kubik magma yang bergerak. Itu hanya material yang menghasilkan gempa," katanya.
Devy menjelaskan, Angka tersebut didapatkan dari konversi magnitude gempa tektonik lokal yang berasal dari Gunung Agung, sehingga PVMBG mampu menganalisa kekuatan dari tekanan magma di dalam perut gunung. "Magnitude itu akan bisa mengestimasi berapa jumlah energi yang bisa dihasilkan. Energi untuk menciptakan gempa-gempa itu dihasilkan dari sekitar 15 juta meter kubik magma," tandas Devy.
Paparan hampir senada juga disampaikan Kepala Bidang Mitigasi PVMBG Kementerian ESDM, I Gede Suantika, Minggu kemarin. Menurut Suantika, aktivitas di dapur magma Gunung Agung terus mencari celah untuk membentuk pipa magma. Saat ini, kondisi Gunung Agung masih berada dalam fase kritis, ditandai dengan munculnya asap solfatara dan rekahan.
"Magma terus mencari celah yang lemah untuk menerobos ke permukaan dan membentuk pipa magma," kata pada tribunebali.com. Gunung Agung memiliki karakter berbeda dengan gunung berapi lain, seperti Gunung Kelud. Kalau Gunung Kelud, pipa magma telah terbentuk karena sering mengalami erupsi. Sedangkan Gunung Agung mengalami letusan terakhir tahun 1963, sehingga diperlukan energi besar untuk membentuk pipa magma.
Suantika memprediksi tekanan magma hingga saat ini masih stabil, tapi kekuatan batuan di permukaan semakin melemah. Dan, inilah yang mengkhawatirkan. Menurut Suantika, jika Gunung Agung meletus, maka gempa-gempa akan lebih dominan dibandingkan saat letusan 1963. “Mungkin nanti kalau awal letusan sama. Meski sama, Gunung Agung kan lama tidak meletus, maka sekali meletus pembuka memungkinkan ada lontaran batuan-batuan berpasir sejauh 6 km. Diprediksi akan luar biasa,” katanya.
sumber : nusabali