DENPASAR - Kendati BPK memberikan opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) atas audit laporan keungan Pemprov Bali, namun KPK menempatkan Bali di peringkat 5 dalam indeks integritas daerah (IID). Parameternya, adalah berbagai program dan layanan kepada masyarakat yang dianggap transparan, seperti Jamiknan Kesehatan Bali Mandara (JKBM).
Versi KPK, Bali menduduki peringkat 5 nasional IID di bawah DI Jogjakarta, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Peringkat terhormat ini disampaikan Wakil Ketua KPK, Zulkarnain, di sela acara Semiloka ‘Koordinasi dan Supremasi Pencegahan Korupsi’ di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali, Niti Mandala Denpasar, Rabu (30/10). Semiloka kemarin menghadirkan KPK dalam rangka evaluasi kinerja daerah terkait pengadaan barang dan jasa, layanan publik, dan tata kelola pemerintahan. Zulkarnain menyebutkan, Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Made Mangku Pastika menempati peringkat 5 dalam IID dari 33 provinsi se-Indonesia, dengan nilai 6,23.
Parametarnya adalah berbagai program dan layanan kepada masyarakat, seperti Jamiknan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Menurut Zulkarnain, JKBM dimasukkan sebagai parameter tata kelola pemerintahan yang berkualitas, layanan terpadu kepada masyarakat yang terbuka dan transparan. ”Layanan kesehatan yang dilaksanakan Pemprov Bali juga menjadi parameter indeks integritasnya yang tinggi,” ujar Zulkarnain. Berdasarkan survei yang dilakukan KPK dalam hal layanan publik dengan melibatkan 15.540 responden, menunjukkan indeks integritas daerah se-Indonesia rata-rata mencapai angka 6. “Malah ada daerah yang indeks integritasnya di bawah 6, yakni 5,70,” papar Zulkarnain yang kemarin didampingi Gubernur Pastika dan Deputi Kepala BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Bali Bidang Akuntan Negara, Gatot Darmasto. Zulkarnain menegaskan, saat ini KPK sedang berusaha mensosialisasikan soal pencegahan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut pemberian grafitikasi kepada pejabat.
“Sekarang ini masyarakat kita belum paham namanya gratifikasi. Kalau tidak dilaporkan, pemberian sesuatu kepada penyelenggara itu masuk ranah pidana sebenarnya. Makanya, harus disosialisasikan kepada masyarakat,” katanya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan KPK tahun 2011, kata Zulkarnain, 31,1 persen masyarakat Indonesia belum memahami bahwa gratifikasi merupakan tindak pidana jika tidak dilaporkan. "Pemberian terhadap penyelenggara negara, pejabat publik, dan pegawai negeri yang berkaitan dengan tugasnya harus dilaporkan. Gratifikasi pada hakikatnya suap-menyuap, jika dibiarkan terbiasa, itu berarti korupsi dibiarkan padahal merugikan keuangan negara," katanya. KPK pun meminta pejabat berhati-hati dalam menerima sesuatu dari masyarakat, supaya tidak kena pidana gratifikasi. “Kalau pejabat, keluarga pejabat, dan anak pejabat menikah, jika menerima sesuatu juga wajib dilaporkan. Kalau menerima gratifikasi tidak dilaporkan, itu masuk suap menyuap,” tegas Zulkarnain.
Menurut Zulkarnain, masyarakat juga perlu disadarkan bahwa ketika berhubungan dengan pejabat negara dan pegawai negeri, tidak perlu memberikan sesuatu. Kalau pun ada ada biaya yang harus dibayarkan, bayarlah sesuai ketentuan yang selanjutnya disetorkan pada kas negara. Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Pastika menyatakan persoalan gratifikasi kepada pejabat yang ada kaitan dengan jabatan, memang harus disosialisasikan. Bisa saja pemberian sesuatu itu karena sebuah moment, tapi kalau tidak dilaporkan malah bisa jadi tindak pidana. Menurut Pastika, masyarakat belum banyak paham tentang gratifikasi. Dalam sejumlah kasus, pemberian sesuatu masih dianggap wajar, padahal sebenarnya merupakan salah satu tindak pidana. Karena itu, perlu diadakannya sosialisai, bukan hanya di kalangan pejabat namun juga kepada masyarakat. “Pemberian sesuatu saat Galungan dan Kuningan, bisa masuk gratifikasi itu. Padahal, tujuannya kan dalam rangka Galungan dan Kuningan.
Makanya, kami mendukung KPK untuk sosialisasi dan terus mengawal tata kelola pemerintahan ini,” ujar Pastika. Mantan Kapolda Bali ini menegaskan, masyarakat harus dididik jangan membawa apa-apa ketika mau mengurus sesuatu berkaitan dengan pemerintah dan jangan bersiap-siap membawa uang tambahan untuk pembayaran ini dan itu. "Dalam sumpah penyelenggara Negara, sebenarnya sudah ada ketentuan untuk tidak menerima gratifikasi, tetapi dalam pelaksanaannya seringkali terbiasa seperti itu." Pastika juga mengharapkan bantuan pusat dalam mengidentifikasi masalah korupsi, khususnya di Bali. Selain itu, pusat juga diminta bantu merumuskan pelayanan publik yang transparan dan akuntable, guna tercapainya good governance. Dalam acara Semiloka ‘Koordinasi dan Supremasi Pencegahan Korupsi’ kemarin, Gubernur Pastika dan Pimpinan KPK juga menandatangani komitmen pengendalian gratifikasi, sebagai salah satu upaya meminimalisasi tindak korupsi.
"Kami berikan apresiasi dengan penandatanganan ini karena menunjukkan keinginan pemimpin di daerah untuk mengendalikan gratifikasi di lingkungan dan jajarannya. Sebab, jika tidak dikendalikan, (gratifikasi) akan dianggap sebagai hal biasa," tegas Wakil Ketua KPK, Zulkarnain. Zulkarnain menegaskan, dengan adanya penandatanganan komitmen tersebut, selanjutnya Direktorat Gratifikasi KPK bekerja sama dengan pemerintah daerah bersama-sama memberikan bimbingan ke instansi terkait, sekaligus mensosialisasikan kepada masyarakat. "Dari hasil survei yang peroleh juga menjadi pembelajaran bagi kami bahwa masyarakat harus disosialisasikan supaya paham gratifikasi itu,” katanya. Sementara itu, dalam Semiloka ‘Koordinasi dan Supremasi Pencegahan Korupsi’ kemarin, Deputi Kepala BPKP Bali Bidang Akuntan Negara, Gatot Darmasto, memaparkan rencana aksi hasil kegiatan koordinasi supervisi pencegahan korupsi tahun 2012 dan hasil pengamatan perubahan APBD Tahun 2013.
Kesimpulannya, kata Gatot Darmasto, Pemprov Bali dan Pemkab/Pemkot se-Bali sudah tepat waktu dalam penetapan anggaran. Yang menggembirakan, ada dua daerah di Bali, yakni Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar telah berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangannya.
sumber : NusaBali