Aksi blokade dengan menutup ruas jalan menggunakan pohon tumbang dilakukan mulai dari ujung timur Desa Temukus (yang berbatasan langsung dengan Desa Kaliasem) hingga ujung barat (yang berbatasan langsung dengan Desa Dencarik). Sepanjang ruas jalan dipenuh dengan batang pohon perindang yang sengaja ditebang menggunakan gergaji mesin, mirip seperti aksi era reformasi saat Megawati gagal naik ke kursi Presiden tahun 1999. Akibat blokade jalan ini, kendaraan dari arah timur (Singaraja) terhenti di pintu perbatasan Desa Kaliasem. Demikian juga sebalaiknya kendaraan dari arah barat (Gilimanuk) terhenti di perbatasan pintu masuk Desa Dencarik. Hal ini membuat arus lalulintas lumpuh total, karena tidak ada satu kendaraan pun yang bisa lewat, baik dari Singaraja maupun Gilimanuk. Dari pantauan arus lalintas jalur utama Singaraja Gilimanuk lumpuh total selama sekitar 2 jam sejak pukul 12.30 Wita. Antrean kendaraan yang tidak bisa lewat pun memanjang mencapai sekitar 10 km, baik dari sisi barat maupun sisi timur. Aksi tebang pohon ini praktis memaksa siswa-siswi SMPN 3 Banjar di Desa Temukus harus jalan kaki menuju rumahnya masing-masing sepulang sekolah, karena kendaraan angkutan desa (Angdes) tidak bisa lewat. Pelajar SMP ini terpaksa jalan kaki sejauh 3-5 km
menuju rumahnya yang berada di Desa Kaliasem, Desa Dencarik, dan sejumlah desa lainnya.
menuju rumahnya yang berada di Desa Kaliasem, Desa Dencarik, dan sejumlah desa lainnya.
Inilah buntut dari sengketa lahan setra seluas 41 hektare, yang berlanjut ke pengadilan. Sengketa lahan setra di kawasan Karang Rupit, Desa Temukus ini muncul setelah diklaim oleh keluarga I Made Suwetja, 85, dan anaknya I Gede Suarsana, 48, sebagai miliknya. Keluarga Made Suweta dan Gede Suarsana, asal Jalan Jelantik Gingsir Kelurahan/Kecamatan Sukasada, Buleleng mengklaim lahan setra tersebut dengan menajukan gugatan ke Pegadilan Negeri (PN) Singaraja. Sebaliknya, krama adat mengklain lahan setra seluas 41 are di Karang Rupit itu merupakan milik Desa Pakraman Temukus. Apalagi, lahan tersebut selama ini sudah digunakan sebagai Setra Adat desa Temukus. Awalnya, gugatan Made Suwetja dan Gede Suarsana di PN Singaraja telah dinyatakan gugur, karena kuasa hukumnya konon mengundurkan diri dan mencabut gugatan tersebut. Krama adat Desa Temukus pun lega, karena setra mereka tidak diusik lagi. Namun belakangan, Made Suwetja dan Gede Suarsana diam-diam kembali mengajukan gugatan ke PN Singaraja, dengan menunjuk kuasa hukum yang baru. Gugatan kedua inilah yang memicu amarah krama adat Desa Temukus, hingga mereka memblokade ruas Jalan Singaraja-Gilimanuk dengan aksi tebang pohon. Apalagi, persidang perdana kasus gugatan susulan yang sedianya digelar di PN Singaraja, Selasa pagi, batal dilaksanakan karena kuasa hukum pengugat tidak hadir. Begitulah, sebelum melakukan aksi tebang pohon di pinggar jalan utama Singaraja-Gilimanuk, ribuan krama adat Desa Temukus kemarin pagi sempat mendatangi PN Singaraja dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Singaraja. Intinya, mereka menolak gugatan yang diajukan keluarga Made Suwetja dan Gede Suarsana disidangkan. Informasi yang dihimpun di lapangan, kehadiran ribuah krama adat Desa Temukus ke PN Singaraja kemarin pagi juga disebut-sebut untuk mencari kuasa hukum dari keluarga penggugat, yakni Ketut Harta Yasa. “Biar tahu saja, seperti apa wajahnya (Harta Yasa). Ini ‘rumah’ kami terkahir (setra) mau diambil. Sebelum rumah terakhir diambil, kami ingin tahu orangnnya,” teriak salah seorang krama Temukus. Gara-gara dikepung ribuan krama adat Desa Temukus, kuasa hukum pengugat konon tidak berani hadir ke PN Singaraja. Informasinya, sang kuasa hukum ‘diselamatkan’ oleh aparat kepolisian ke Kantor Kejari di Jalan Dewi Sartika Singaraja, yang lokasinya tidak jauh dari Kantor PN Singaraja. Informasinya, Harta Yasa dijemput dengan kawalan ketat pertugas Dalmas Polres Buleleng saat datang terlambat ke PN Singaraja ketika sidang dinyatakan ditunda hingga pekan depan. Sementara, ribuan massa adat Desa Temukus langsung balik ke desanya dari PN Singaraja kemarin siang, sembari melakukan aksi tebang pohon untuk memblokade jalan.
Pasukan kepolisian dari Polres Buleleng dan semua Polsek se-Buleleng turun ke lokasi aksi massa di Desa Temukus untuk meredakan situasi. Bahkan, Kapolres Buleleng AKBP Benny Arjanto juga terjun bersama Sekkab Buleleng, Dewa Ketut Puspaka, untuk berusaha membujuk warga yang beraksi di tengah guyuran hujan lebat agar bersedia menyingkirkan batang pohon. Namun, upaya petugas gagal membuahkan hasil. Demikian pula upaya pendekatan yang dilakukan Ketua DPRD Buleleng, Dewa Nyoman Sukrawan, yang terjun sebelum kedatangan Kapolres dan Sekkab Dewa Puspaka, tidak digubris massa adat. Ribuan krama adat Desa Temukus hanya minta Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana turun memberikan kepastian atas sengketa lahan setra tersebut. “Sebelum Bupati turun, kami akan tetap bertahan. Ini wilayah kami. Dan, kami ingin ada kepastian dari Bupati,” tegas salah satu tokoh Desa Temukus. Setelah negosiasi buntu, Bupati Agus Suradnyana akhirnya tiba di lokasi aksi blokade jalan di Desa Temukus. Massa adat pun gembira. Bupati kemudian minta massa agar membuka kembali ruas jalan. Setelah ruas jalan dibuka, warga mengajak Bupati Agus Suradnyana menuju lokasi sengketa lahan setra dengan jalan kaki sejauh 3 km dari pintu masuk Desa Kaliasem. Di lokasi lahan sengketa, Bupati Agus Suradnyana berjanji akan menyelesaikan persoalan itu. Bupati pun minta waktu untuk mengadakan pertemuan dengan jajaran Muspida di Kantor Bupati Buleleng. “Saya minta waktu sebentar saja, paling telat jam 5 sore (pukul 17.00 Wita) saya akan datang. Sekarang saya akan rapat dulu dengan BPN Buleleng dan Muspida,” ujar Bupati sambil bergegas pergi. Dari lokasi aksi massa di Desa Temukus, Bupati Agus Suradnyana kemarin meminjam sepeda motor milik warga setempat, karena mobil dinasnya tertahan di pintu masuk Desa Kaliasem. Bupati naik motor dengan membonceng Kapolres Benny Arjanto untuk mempercepat sampai di Kantor Bupati.
Sorenya sekitar pukul 15.00 Wita, rapat Muspida Buleleng berakhir. Hasil rapat Muspida, proses pensertifikatan lahan setra yang disengketakan itu dijanjikan selesai dalam waktu 2 bulan ke depan. “Saya jaminannya. Nanti dalam 2 bulan lagi, sertifikat hak milik atas nama Desa Adat Temukus terhadap lahan sengketa itu sudah selesai,” tegas Bupati Agus Suradnyana seusai pertemuan. Menurut Bupati, aksi massa adat di Desa Temukus kemarin terjadi karena miskomunikasi. Warga mengira yang membuat sertifikat itu adalah penggugat, padahal proses sertifikat yang tengah berjalan di Badan Pertanahan Negara (BPN) adalah proses sertifikat yang dimohonkan oleh Desa Adat Temukus. “Saya berani menyatakan gugatan perdata yang diajukan keluarga Pak Made Suwetja dan anaknya itu tidak dilengkapi bukti. Kenapa? Ya, salah satu pemilik rumah di dekat setra itu menyatakan penyanding dari tanah miliknya adalah kuburan. Nah ini saja sudah jelas bahwa itu lahan kuburan,” tegas Bupati. Untuk menyakinkan hal itu, Bupati Agus Suradnyana bersama unsur Muspida Buleleng kemarin sore kembali menemui warga di lokasi lahan sengketa.
Dre@ming Post______
sumber : NusaBali