Selasa, 27 Desember 2011 | 01:19
Gunung Agung sangat disucikan oleh umat Hindu Bali |
Fenomena senja yang berubah menjadi lebih indah dan cerah itu menarik perhatian dua pakar fisika astronomi Institut Teknologi California, MP Meinel dan AB Meinel. Keduanya kemudian menerbitkan buku berjudul romantis: Matahari Tenggelam, Senja, dan Langit Sore atau dalam naskah aslinya, Sunsets, Twilights and Evening Skies (1991).
Dalam buku itu disebutkan, perubahan senja menjadi lebih menawan itu terjadi karena letusan Gunung Agung di Pulau Bali. ”Erupsi Gunung Agung (1963) merupakan penyumbang utama (senja yang indah itu),” tulis Meinel.
Debu vulkanik yang tertiup hingga 14.400 kilometer dari pulau dewata itu menyebabkan sinar matahari di atas Arizona terpendar. Pada 1964, kedua peneliti itu menyebutkan bahwa titik tertinggi lapisan debu vulkanik berada 20 kilometer di atas rata-rata muka air laut.
Fenomena alam itu menarik minat pakar fisika terapan dan angkasa luar dari Cambridge Research Laboratories (Amerika Serikat), Frederic E Volz. Dia menyimpulkan, perubahan tingkat kecerahan cahaya matahari senja pada tahun itu mengindikasikan adanya peningkatan partikel debu di stratosfer, yaitu lapisan
udara di ketinggian 10-60 km dari permukaan bumi.
udara di ketinggian 10-60 km dari permukaan bumi.
Selain berdampak pada perubahan warna langit, letusan Gunung Agung pada 1963 yang merenggut 1.549 korban jiwa itu juga menurunkan suhu global. Peneliti NASA, James E Hansen, menemukan, selama tahun 1963-1964, suhu bumi turun sekitar 0,5 derajat celsius. Dia mendapat temuan ini setelah mengukur suhu bumi dalam rentang 1958-1973.
Penurunan suhu global ini dikembangkan lebih lanjut oleh ahli ilmu lingkungan Universitas New York, Michael R Rampino, pada 1982. Ia membandingkan tiga letusan gunung di Indonesia, yaitu Tambora (1815), Krakatau (1883), dan Agung (1963). Ketiga letusan itu menyebabkan pendinginan suhu bumi dalam rentang besaran yang sama, yaitu 0,18-1,3 derajat celsius.
Fenomena menjadi menarik karena jumlah material yang dimuntahkan ketiga gunung tersebut jauh berbeda. Letusan Tambora di Sumbawa dikenal sebagai yang terkuat sepanjang sejarah modern disusul Krakatau. Perbandingan volume material letusan Tambora, Krakatau, dan Agung adalah 150:20:1. Namun, letusan Gunung Agung lebih kaya gas oksida belerang (SO2) dibandingkan letusan Tambora dan Krakatau.
Gas belerang bertahan lebih lama di stratosfer sebagai aerosol, sedangkan abu vulkanik akan jatuh dalam beberapa bulan. Perbandingan massa aerosol sulfat Tambora, Krakatau, dan Agung yang terlepas ke atmosfer adalah 7,5:3:1.
Letusan Gunung Agung pada 1963, yang sangat kaya belerang, membuka pemahaman baru dalam ilmu pengetahuan modern, yaitu pendinginan suhu bumi akibat letusan gunung api lebih dipengaruhi oleh konsentrasi aerosol sulfat dibandingkan debu silikat. Rampino akhirnya menyimpulkan, pendinginan suhu bumi lebih dipengaruhi oleh volume sulfur yang dilepaskan ke stratosfer dan bukan hanya volume material yang dikeluarkan.
sumber : kompas