Kamis 17 Maret 2011
Dewan Turun ke Danau Tamblingan
DENPASAR - DPRD Bali desak Pemprov turun tangani bencana meluapnya air Danau Tamblingan di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng yang telah menyebabkan satu pura tenggelam dan 40 rumah terisolasi. Pemerintah juga didesak untuk mencarikan lahan tempat tinggal bagi 40 KK yang mengungsi pasca rumahnya diamuk air danau. Komisi III DPRD Bali sendiri rencananya akan terjun ke Danau Tamblingan, Kamis (17/3) ini.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali, Ketut Kariyasa Adnyana, mengatakan kasus meluapnya air Danau Tamblingan memang fenomena alam yang normal, karena cuaca dan curah hujan tinggi. Kondisi seperti ini pernah terjadi di era 1990-an silam. Hanya saja, karena cara memperlakukan alam di sekitar kawasan Danau Tamblingan berbeda, maka terjadilah perubahan.
Kendati ini fenomena alam, menurut Kariyasa, penanganan terhadap warga yang jadi korban luapan air Danau Tamblingan tetap harus dikedepankan pemerintah. Dalam hal ini, Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng mesti mencarikan lahan untuk menampung sementara warga yang terkena luapan air danau.
“Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng harus turun tangan mengatasi masalah ini. Kita berharap supaya masyarakat yang jadi korban luapan air danau agar dicarikan lokasi penampungan untuk tinggal sementara. Mereka menunggu penanganan pemerintah ,” ujar Kariyasa kepada NusaBali di Gedung DPRD Bali, Nitimandala Denpasar, Rabu (16/3).
Sembari mencarikan lahan untuk tempat tinggal sementara, menurut Kariyasa, Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng, melalui instansi terkait, juga harus melakukan observasi soal penyebab meluapnya air Danau Tamblingan. Kajian ilmiah ini sangat perlu untuk solusi penanganannya nanti.
“Dari pengamatan saya sendiri, di kawasan ini (sekitar Danau Tamblingan) sudah banyak peralihan fungsi lahan. Kalau sebelumnya di sini banyak tanaman kopi yang bisa menahan air dan menyimpannya, tapi belakangan masyarakat beralih ke tanaman bunga dan sayur,” jelas politisi PDIP asal Busungbiu, Buleleng ini. Sementara, Komisi III DPRD Bali rencananya akan terjun ke Danau Tamblingan, Kamis ini. Komisi III Dewan rencananya bakal mengajak Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Kehutanan ke lapangan. Mereka bersama-sama akan melakukan pengecekan kondisi terkini Danau Tamblingan dan warga sekitarnya.
“Besok (hari ini) Komisi III DPRD Bali akan turun ke Danau Tamblingan. Kita cek langsung kondisi di lapangan bersama dinas-dinas terkait,” janji Sekretaris Komisi III DPRD Bali, Gusti Ngurah Suryanta Putra, Kamis kemarin. Dari hasil pengecekan lapangan itu, lanjut Suryanta, bisa diketahui apa sejatinya penyebab naiknya air Danau Tamblngan dan langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam menangani masalah ini. “Makanya, kita harus lihat kondisi riil lapangan dulu,” tegas politisi PDIP asal Kediri, Tabanan ini.
Dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Kamis kemarin, Kepala Dinas PU Provinsi Bali, Dewa Punia Asa, menyatakan pemerintah harus membuatkan program dengan lebih dulu mengecek langsung ke lapangan, terkait meluapnya air Danau Tamblingan. Dikatakan Dewa Punia, Pemprov Bali sebenarnya sudah mengimbau masyarakat setempat agar jangan bermukim di tepi danau, menyusul fenomena cuaca ekstrim belakangan.
“Hanya saja, memang sulit kita melarangnya. Kita akan koordinasi dengan kabupaten yang punya wilayah (Buleleng) terkait masalah ini,” terang Dewa Punia. “Sebenarnya, ini ‘kan kondisi normal seperti Danau Tamblingan 25 tahun lalu. Danau Tamblingan sebelumnya sempat kering, kemudian muncul tanah timbul. Masyarakat memanfaatkan tanah timbul itu, siapa yang berani melarangnya?” imbuh Dewa Punia.
Dewa Punia memaparkan, sebelumnya sudah dibuat barrier (tanggul) untuk mencegah abrasi di Danau Tamblingan. Tapi, karena sekarang air danau meluap, harus dibuat program lagi. “Namun, kita berharap masyarakat bisa bergeser dulu, jangan maju (bangun rumah mendekati Danau Tamblingan), karena kemungkinan fenomena alam bisa menyebabkan air terus meluber.” ujarnya.
Sementara, Pemprov Bali rencananya akan menggelontorkan bantuan logistik kepada 5 KK korban luapan air Danau Tamblingan, Kamis ini. Menurut Kabag Dokumentasi dan Publikasi yang sekaligus Jubir Pemprov Bali, I Ketut Teneng, pihaknya secara berkala memberikan bantuan kepada korban bencana meluapnya air danau ini. “Sebelumnya, saat air Danau Tamblingan pasang pada 9 Februari 2011 lalu, Pemprov Bali juga sudah menggelontorkan bantuan kepada 25 KK warga di sekitar kawasan itu,” ujar Ketut Teneng di Kantor Gubernur Bali, Nitimandala Denpasar, Rabu kemarin.
Bencana luapan air di Danau Tamblingan kian mengganas sejak Hari Raya Nyepi, 5 Maret 2011 lalu. Jumlah rumah penduduk yang terendam telah bertambah jadi 40 unit, dari semula hanya 21 rumah. Dari 40 KK yang rumahnya tenggelam, 33 KK di antaranya sudah mengungsi ke tempat aman. Sialnya, luberan air danau justru mulai mengancam lokasi pengungsian di kawasan hutan sebelah Danau Tamblingan.
Mulanya, hanya 21 rumah penduduk yang terendam air sejak meluapnya Danau Tamblingan, Januari 2011 lalu. Ke-21 rumah yang ‘tenggelam’ lebih awal itu adalah milik 21 kepala keluarga (KK) warga Mendega, penduduk asli yang bertugas menjaga kelestarian pura-pura di sekitar Danau Tamblingan. Namun, pantauan NusaBali, Selasa (15/3), 19 rumah penduduk lain yang sebelumnya aman pun sudah tergenang.
Belasan rumah yang tergenang belakangan ini merupakan bagian dari rumah-rumah milik 22 KK warga kelompok nelayan di tepi Danau Tamblingan. kelompok 21 KK warga Mendega sudah lebih dulu mengungsi ke kawasan hutan milik Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang lokasinya tak jauh dari Danau Tamblingan.
Informasi di lapangan, sebagian besar dari 19 KK warga kelompok nelayan yang rumahnya mulai terendam pun sudah mengungsi ke tempat aman. Hanya tinggal 7 KK lagi yang masih bertahan. Itu pun, mereka telah mulai mengemasi barang-barangnya untuk segera mengungsi, karena merasa tidak aman lagi. Selain itu, satu dari dua pura yang sebelumnya terancam tenggelam oleh luapan Danau Buyan, kini sudah benar-benar tenggelam, yakniu Pura Gubug. Sedangkan satu pura lagi sudah mulai diterjang air, namun belum terlalu parah adalah Pura Tirta Mengening.
Sejumlah palinggih (bangunan suci) di areal Pura Gubug tampak sudah tenggelam sedalam hampir 1,5 meter. Termasuk di antaranya dua palinggih Bale Sangkepan, yang kini hanya setengah bagian atas hingga ke atap yang masih menyembul ke permukaan danau. Pamedek (umat yang hendak tangkil sembahyang) ke Pura Gubug sudah tidak memungkinkan lagi, tanpa menggunadak pedau (sejenis jukung tak bermesin).
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Buleleng menyatakan tidak bisa berbuat banyak atas kondisi terakhir dari luapan air Danau Tamblingan. Jika sebelumnya sempat membantu warga yang menjadi korban luapan air danau, namun kali ini BPBD Buleleng masih menunggu informasi lebih lanjut dari pihak desa terkait kondisi terakhir bencana Danau Tamblingan. “Kalau masalah puranya yang tenggelam (Pura Gubug), kita belum pikirkan. Tapi, sebelumnya kita sudah tangani warga yang menjadi korban. Kita akan cek kembali kondisi terakhirnya,” terang Pejabat Pelaksana BPBD Buleleng, I Ketut Asta Semadi, saat dikonfirmasi NusaBali di Singaraja, Rabu kemarin.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali, Ketut Kariyasa Adnyana, mengatakan kasus meluapnya air Danau Tamblingan memang fenomena alam yang normal, karena cuaca dan curah hujan tinggi. Kondisi seperti ini pernah terjadi di era 1990-an silam. Hanya saja, karena cara memperlakukan alam di sekitar kawasan Danau Tamblingan berbeda, maka terjadilah perubahan.
Kendati ini fenomena alam, menurut Kariyasa, penanganan terhadap warga yang jadi korban luapan air Danau Tamblingan tetap harus dikedepankan pemerintah. Dalam hal ini, Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng mesti mencarikan lahan untuk menampung sementara warga yang terkena luapan air danau.
“Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng harus turun tangan mengatasi masalah ini. Kita berharap supaya masyarakat yang jadi korban luapan air danau agar dicarikan lokasi penampungan untuk tinggal sementara. Mereka menunggu penanganan pemerintah ,” ujar Kariyasa kepada NusaBali di Gedung DPRD Bali, Nitimandala Denpasar, Rabu (16/3).
Sembari mencarikan lahan untuk tempat tinggal sementara, menurut Kariyasa, Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng, melalui instansi terkait, juga harus melakukan observasi soal penyebab meluapnya air Danau Tamblingan. Kajian ilmiah ini sangat perlu untuk solusi penanganannya nanti.
“Dari pengamatan saya sendiri, di kawasan ini (sekitar Danau Tamblingan) sudah banyak peralihan fungsi lahan. Kalau sebelumnya di sini banyak tanaman kopi yang bisa menahan air dan menyimpannya, tapi belakangan masyarakat beralih ke tanaman bunga dan sayur,” jelas politisi PDIP asal Busungbiu, Buleleng ini. Sementara, Komisi III DPRD Bali rencananya akan terjun ke Danau Tamblingan, Kamis ini. Komisi III Dewan rencananya bakal mengajak Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Kehutanan ke lapangan. Mereka bersama-sama akan melakukan pengecekan kondisi terkini Danau Tamblingan dan warga sekitarnya.
“Besok (hari ini) Komisi III DPRD Bali akan turun ke Danau Tamblingan. Kita cek langsung kondisi di lapangan bersama dinas-dinas terkait,” janji Sekretaris Komisi III DPRD Bali, Gusti Ngurah Suryanta Putra, Kamis kemarin. Dari hasil pengecekan lapangan itu, lanjut Suryanta, bisa diketahui apa sejatinya penyebab naiknya air Danau Tamblngan dan langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam menangani masalah ini. “Makanya, kita harus lihat kondisi riil lapangan dulu,” tegas politisi PDIP asal Kediri, Tabanan ini.
Dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Kamis kemarin, Kepala Dinas PU Provinsi Bali, Dewa Punia Asa, menyatakan pemerintah harus membuatkan program dengan lebih dulu mengecek langsung ke lapangan, terkait meluapnya air Danau Tamblingan. Dikatakan Dewa Punia, Pemprov Bali sebenarnya sudah mengimbau masyarakat setempat agar jangan bermukim di tepi danau, menyusul fenomena cuaca ekstrim belakangan.
“Hanya saja, memang sulit kita melarangnya. Kita akan koordinasi dengan kabupaten yang punya wilayah (Buleleng) terkait masalah ini,” terang Dewa Punia. “Sebenarnya, ini ‘kan kondisi normal seperti Danau Tamblingan 25 tahun lalu. Danau Tamblingan sebelumnya sempat kering, kemudian muncul tanah timbul. Masyarakat memanfaatkan tanah timbul itu, siapa yang berani melarangnya?” imbuh Dewa Punia.
Dewa Punia memaparkan, sebelumnya sudah dibuat barrier (tanggul) untuk mencegah abrasi di Danau Tamblingan. Tapi, karena sekarang air danau meluap, harus dibuat program lagi. “Namun, kita berharap masyarakat bisa bergeser dulu, jangan maju (bangun rumah mendekati Danau Tamblingan), karena kemungkinan fenomena alam bisa menyebabkan air terus meluber.” ujarnya.
Sementara, Pemprov Bali rencananya akan menggelontorkan bantuan logistik kepada 5 KK korban luapan air Danau Tamblingan, Kamis ini. Menurut Kabag Dokumentasi dan Publikasi yang sekaligus Jubir Pemprov Bali, I Ketut Teneng, pihaknya secara berkala memberikan bantuan kepada korban bencana meluapnya air danau ini. “Sebelumnya, saat air Danau Tamblingan pasang pada 9 Februari 2011 lalu, Pemprov Bali juga sudah menggelontorkan bantuan kepada 25 KK warga di sekitar kawasan itu,” ujar Ketut Teneng di Kantor Gubernur Bali, Nitimandala Denpasar, Rabu kemarin.
Bencana luapan air di Danau Tamblingan kian mengganas sejak Hari Raya Nyepi, 5 Maret 2011 lalu. Jumlah rumah penduduk yang terendam telah bertambah jadi 40 unit, dari semula hanya 21 rumah. Dari 40 KK yang rumahnya tenggelam, 33 KK di antaranya sudah mengungsi ke tempat aman. Sialnya, luberan air danau justru mulai mengancam lokasi pengungsian di kawasan hutan sebelah Danau Tamblingan.
Mulanya, hanya 21 rumah penduduk yang terendam air sejak meluapnya Danau Tamblingan, Januari 2011 lalu. Ke-21 rumah yang ‘tenggelam’ lebih awal itu adalah milik 21 kepala keluarga (KK) warga Mendega, penduduk asli yang bertugas menjaga kelestarian pura-pura di sekitar Danau Tamblingan. Namun, pantauan NusaBali, Selasa (15/3), 19 rumah penduduk lain yang sebelumnya aman pun sudah tergenang.
Belasan rumah yang tergenang belakangan ini merupakan bagian dari rumah-rumah milik 22 KK warga kelompok nelayan di tepi Danau Tamblingan. kelompok 21 KK warga Mendega sudah lebih dulu mengungsi ke kawasan hutan milik Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang lokasinya tak jauh dari Danau Tamblingan.
Informasi di lapangan, sebagian besar dari 19 KK warga kelompok nelayan yang rumahnya mulai terendam pun sudah mengungsi ke tempat aman. Hanya tinggal 7 KK lagi yang masih bertahan. Itu pun, mereka telah mulai mengemasi barang-barangnya untuk segera mengungsi, karena merasa tidak aman lagi. Selain itu, satu dari dua pura yang sebelumnya terancam tenggelam oleh luapan Danau Buyan, kini sudah benar-benar tenggelam, yakniu Pura Gubug. Sedangkan satu pura lagi sudah mulai diterjang air, namun belum terlalu parah adalah Pura Tirta Mengening.
Sejumlah palinggih (bangunan suci) di areal Pura Gubug tampak sudah tenggelam sedalam hampir 1,5 meter. Termasuk di antaranya dua palinggih Bale Sangkepan, yang kini hanya setengah bagian atas hingga ke atap yang masih menyembul ke permukaan danau. Pamedek (umat yang hendak tangkil sembahyang) ke Pura Gubug sudah tidak memungkinkan lagi, tanpa menggunadak pedau (sejenis jukung tak bermesin).
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Buleleng menyatakan tidak bisa berbuat banyak atas kondisi terakhir dari luapan air Danau Tamblingan. Jika sebelumnya sempat membantu warga yang menjadi korban luapan air danau, namun kali ini BPBD Buleleng masih menunggu informasi lebih lanjut dari pihak desa terkait kondisi terakhir bencana Danau Tamblingan. “Kalau masalah puranya yang tenggelam (Pura Gubug), kita belum pikirkan. Tapi, sebelumnya kita sudah tangani warga yang menjadi korban. Kita akan cek kembali kondisi terakhirnya,” terang Pejabat Pelaksana BPBD Buleleng, I Ketut Asta Semadi, saat dikonfirmasi NusaBali di Singaraja, Rabu kemarin.
Danau Meluap, Satu Pura Tenggelam
SINGARAJA - Bencana luapan air di Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng semakin parah. Bahkan, selain sebuah pura sudah tenggelam, kini jumlah rumah penduduk yang terendam telah mencapai 40 unit. Parahnya, air sudah meluber hingga mendekati lokasi pengungsian penduduk di hutan sebelah danau.
Mulanya, hanya 21 rumah penduduk yang terendam air sejak meluapnya Danau Tamblingan, Januari 2011 lalu. Ke-21 rumah yang ‘tenggelam’ lebih awal itu adalah milik 21 kepala keluarga (KK) warga Mendega, penduduk asli yang bertugas menjaga kelestarian pura-pura di sekitar Danau Tamblingan. Namun, pantauan NusaBali, Selasa (15/3), 19 rumah penduduk lain yang sebelumnya aman pun sudah tergenang.
Belasan rumah yang tergenang belakangan ini merupakan bagian dari rumah-rumah milik 22 KK warga kelompok nelayan di tepi Danau Tamblingan. Meski rumahnya sudah tenggelam, sebagian warga dari 22 KK kelompok nelayan ini masih bertahan alias belum mengungsi. Sedangkan 21 KK warga Bendega sudah lebih dulu mengungsi ke kawasan hutan milik Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang lokasinya tak jauh dari Danau Tamblingan.
Informasi di lapangan, sebagian besar dari 19 KK warga kelompok nelayan yang rumahnya mulai terendam ini sudah mengungsi ke tempat aman. Hanya tinggal 7 KK lagi yang masih bertahan. Itu pun, mereka telah mulai mengemasi barang-barangnya untuk segera mengungsi, karena merasa tidak aman lagi.
Sementara, satu dari dua pura yang sebelumnya terancam tenggelam oleh luapan Danau Buyan, kini sudah benar-benar tenggelam, yakniu Pura Gubug. Sedangkan satu pura lagi sudah mulai diterjang air, namun belum terlalu parah yakni Pura Tirta Mengening.
Sejumlah palinggih (bangunan suci) di areal Pura Gubug tampak sudah tenggelam sedalam hampir 1,5 meter. Termasuk di antaranya dua palinggih Bale Sangkepan, yang kini hanya setengah bagian atas hingga ke atap yang masih menyembul ke permukaan danau. Pamedek (umat yang hendak tangkil sembahyang) ke Pura Gubug sudah tidak memungkinkan lagi, tanpa menggunadak pedau (sejenis jukung tak bermesin).
Menurut kesaksian sejumlah warga setempat, air Danau Tamblingan sudah meluber sejauh 500 meter ke daratan. Tak ada yang bisa memprediksi sampai kapan luapan air Danau Tamblingan ini akan surut. Faktanya, meski curah hujan sudah menurun, luapan air Danau Tamblingan kini justru semakin parah. Warga setempat pun hanya bisa pasrah terkait nasib mereka ke depan, pasca meluapnya air Danau Tamblingan. Menurut I Putu Soal, 65, salah satu warga kelompok nelayan yang masih bertahan di rumahnya yang sudah tergenang air, Selasa kemarin, Danau Tamblingan semakin meluap sejak Hari Raya Nyepi, 5 Maret 2011 lalu.
Sejak itu, luapan air dirasakan semakin tinggi jauh ke daratan hingga memasuki pekarangan rumah-rumah yang semula aman, termasuk rumah milik keluarga Putu Soal yang berisi warung. Karena rumah dan warungnya sudah tergenang, keluarga Putu Soal pun siap-siap mengungsi.
“Barang-barang semua sudah saya kemas, tinggal pindah saja. Kalau anak cucu saya, sudah mengungsi duluan,” keluh Putu Soal. “Saya masih di sini (di rumahnya yang tergenang air Danau Tamblingan) hanya untuk berjualan saja. Lagian, air meluap juga pelan, jadi bisa berhitung kalau mau pindah,” imbuhnya. Tapi, Putu Soal memperkirakan air Danau Tamblingan akan terus meluap, karena faktanya tidak ada hujan pun, air tetap naik. Bahkan, setiap hari diperkirakan kenaikannya mencapai 1 cm.
Ditambahkannya, kelompok nelayan di tepi Danau Tamblingan berjumlah 22 KK. Sebagian dari mereka sudah mengungsi ke tempat yang agak jauh, termasuk sanak keluarga Putu Soal. Sedangkan kelompok nelayan yang masih bertahan di lokasi saat ini, hanya 7 KK, termasuk Putu Soal.
Bersama warga senasib lainnya, Putu Soal mengaku telah memimjam tempat untuk mengungsi. Tempat pengungsian itu milik seorang warga yang lokasinya jauh di dari tepi Danau Tamblingan. “Kalau yang punya saudara di atas (posisi jauh dari danau), langsung ke sana. Tapi, saya tidak punya tempat saudara tinggal di sana, sehingga terpaksa numpang di lahan warga,” katanya. Sementara itu, seluruh warga Menega yang berjumlah 21 KK telah lebih dulu mengungsi ke tengah hutan di sebelah Danau Tamblingan, sejak Januari 2011 lalu. Mereka mengungsi di kawasan hutan milik KSDA itu dengan membangun tenda-tenda darurat.
Tragisnya, setelah hampir 3 bulan mengungsi, 21 KK warga Menega ini kiini kembali dihantui perasaan was-was susulan, Masalahnya, air danau terus meluber ke daratan hingga mendekati lokasi pengungsian. Luapan air danau kini hanya berjarak beberapa meter dari lokasi pengungsian.
“Perkiraan saya, mudah-mudahan tidak sampai naik lagi. Tapi, kalau air danau naik terus, kami sudah kehabisan akal, mau ke mana kami harus pindah? Kami tahunya tempat mengungsi hanya di sini (lokasi hutan),” ungkap tokoh warga Menega, Nyoman Suada, kepada NusaBali di pengungsian, Selasa kemarin. Suada berharap pemerintah tetap memperhatikan nasib warganya yang sedang susah akibat meluapnya air Danau Tamblingan ini. Apalagi, menurut Suada, mereka pernah dijanjikan oleh Pemprov Bali untuk diusulkan agar bisa mendapatkan lahan pemukiman baru ke pemerintah pusat. “Mudah-mudahan, prosesnya cepat. Tapi, sepengetahuan kami, proses birokrasinya agak lama. Nah, dalam kondisi seperti ini, apa tidak bisa dipercepat (relokasi)” tanya Suada.
Danbau Tamblingan sendiri sebelumnya pernah meluap sekitar tahun 1970-an. Data yang diperoleh NusaBali di Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Buleleng, sekitar tahun 1980-an cakupan Danau Tamblingan sempat seluas 9,2 km persegi. Kemudian, airnya menyusut hingga luas cakupan Danau Tamblingan tinggal hanya 1,15 km persegi.
Namun, dengan tingginya intensitas hujan dan tingginya resapan belakangan, kemungkinan besar Danau Tamblingan itu akan kembali seperti semula ke cakupan luasnya, yakni sekitar 9,2 km persegi atau meluas 8 kali lipat. Bukan hanya air Danau Tamblingan di Desa Munduk, Kecamatan Banjar yang meluap. Danau di sebelah timurnya, yakni Danau Buyan di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng juga ikut-ikutan meluap sejak Februari 2011 lalu. Akibatnya, ratusan hektare lahan sudah terendam air, sementara 300 KK warga sekitar terancam terisolasi.
Bencana terparah akibat meluapnya Danau Buyan terjadi di Dusun Dasong dan Dusun Buyan, Desa Pancasari. Sekitar 300 KK warga yang terancam terisolasi pun tinggal di dua dusun ini. Lapan air Danau Buyan telah melewati batas tanggul danau tersebut hingga meredam sekitar 100 hektare lahan pertanian di dua dusun bertetangga: Dusun Dasong dan Dusun Buyan.
Mulanya, hanya 21 rumah penduduk yang terendam air sejak meluapnya Danau Tamblingan, Januari 2011 lalu. Ke-21 rumah yang ‘tenggelam’ lebih awal itu adalah milik 21 kepala keluarga (KK) warga Mendega, penduduk asli yang bertugas menjaga kelestarian pura-pura di sekitar Danau Tamblingan. Namun, pantauan NusaBali, Selasa (15/3), 19 rumah penduduk lain yang sebelumnya aman pun sudah tergenang.
Belasan rumah yang tergenang belakangan ini merupakan bagian dari rumah-rumah milik 22 KK warga kelompok nelayan di tepi Danau Tamblingan. Meski rumahnya sudah tenggelam, sebagian warga dari 22 KK kelompok nelayan ini masih bertahan alias belum mengungsi. Sedangkan 21 KK warga Bendega sudah lebih dulu mengungsi ke kawasan hutan milik Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang lokasinya tak jauh dari Danau Tamblingan.
Informasi di lapangan, sebagian besar dari 19 KK warga kelompok nelayan yang rumahnya mulai terendam ini sudah mengungsi ke tempat aman. Hanya tinggal 7 KK lagi yang masih bertahan. Itu pun, mereka telah mulai mengemasi barang-barangnya untuk segera mengungsi, karena merasa tidak aman lagi.
Sementara, satu dari dua pura yang sebelumnya terancam tenggelam oleh luapan Danau Buyan, kini sudah benar-benar tenggelam, yakniu Pura Gubug. Sedangkan satu pura lagi sudah mulai diterjang air, namun belum terlalu parah yakni Pura Tirta Mengening.
Sejumlah palinggih (bangunan suci) di areal Pura Gubug tampak sudah tenggelam sedalam hampir 1,5 meter. Termasuk di antaranya dua palinggih Bale Sangkepan, yang kini hanya setengah bagian atas hingga ke atap yang masih menyembul ke permukaan danau. Pamedek (umat yang hendak tangkil sembahyang) ke Pura Gubug sudah tidak memungkinkan lagi, tanpa menggunadak pedau (sejenis jukung tak bermesin).
Menurut kesaksian sejumlah warga setempat, air Danau Tamblingan sudah meluber sejauh 500 meter ke daratan. Tak ada yang bisa memprediksi sampai kapan luapan air Danau Tamblingan ini akan surut. Faktanya, meski curah hujan sudah menurun, luapan air Danau Tamblingan kini justru semakin parah. Warga setempat pun hanya bisa pasrah terkait nasib mereka ke depan, pasca meluapnya air Danau Tamblingan. Menurut I Putu Soal, 65, salah satu warga kelompok nelayan yang masih bertahan di rumahnya yang sudah tergenang air, Selasa kemarin, Danau Tamblingan semakin meluap sejak Hari Raya Nyepi, 5 Maret 2011 lalu.
Sejak itu, luapan air dirasakan semakin tinggi jauh ke daratan hingga memasuki pekarangan rumah-rumah yang semula aman, termasuk rumah milik keluarga Putu Soal yang berisi warung. Karena rumah dan warungnya sudah tergenang, keluarga Putu Soal pun siap-siap mengungsi.
“Barang-barang semua sudah saya kemas, tinggal pindah saja. Kalau anak cucu saya, sudah mengungsi duluan,” keluh Putu Soal. “Saya masih di sini (di rumahnya yang tergenang air Danau Tamblingan) hanya untuk berjualan saja. Lagian, air meluap juga pelan, jadi bisa berhitung kalau mau pindah,” imbuhnya. Tapi, Putu Soal memperkirakan air Danau Tamblingan akan terus meluap, karena faktanya tidak ada hujan pun, air tetap naik. Bahkan, setiap hari diperkirakan kenaikannya mencapai 1 cm.
Ditambahkannya, kelompok nelayan di tepi Danau Tamblingan berjumlah 22 KK. Sebagian dari mereka sudah mengungsi ke tempat yang agak jauh, termasuk sanak keluarga Putu Soal. Sedangkan kelompok nelayan yang masih bertahan di lokasi saat ini, hanya 7 KK, termasuk Putu Soal.
Bersama warga senasib lainnya, Putu Soal mengaku telah memimjam tempat untuk mengungsi. Tempat pengungsian itu milik seorang warga yang lokasinya jauh di dari tepi Danau Tamblingan. “Kalau yang punya saudara di atas (posisi jauh dari danau), langsung ke sana. Tapi, saya tidak punya tempat saudara tinggal di sana, sehingga terpaksa numpang di lahan warga,” katanya. Sementara itu, seluruh warga Menega yang berjumlah 21 KK telah lebih dulu mengungsi ke tengah hutan di sebelah Danau Tamblingan, sejak Januari 2011 lalu. Mereka mengungsi di kawasan hutan milik KSDA itu dengan membangun tenda-tenda darurat.
Tragisnya, setelah hampir 3 bulan mengungsi, 21 KK warga Menega ini kiini kembali dihantui perasaan was-was susulan, Masalahnya, air danau terus meluber ke daratan hingga mendekati lokasi pengungsian. Luapan air danau kini hanya berjarak beberapa meter dari lokasi pengungsian.
“Perkiraan saya, mudah-mudahan tidak sampai naik lagi. Tapi, kalau air danau naik terus, kami sudah kehabisan akal, mau ke mana kami harus pindah? Kami tahunya tempat mengungsi hanya di sini (lokasi hutan),” ungkap tokoh warga Menega, Nyoman Suada, kepada NusaBali di pengungsian, Selasa kemarin. Suada berharap pemerintah tetap memperhatikan nasib warganya yang sedang susah akibat meluapnya air Danau Tamblingan ini. Apalagi, menurut Suada, mereka pernah dijanjikan oleh Pemprov Bali untuk diusulkan agar bisa mendapatkan lahan pemukiman baru ke pemerintah pusat. “Mudah-mudahan, prosesnya cepat. Tapi, sepengetahuan kami, proses birokrasinya agak lama. Nah, dalam kondisi seperti ini, apa tidak bisa dipercepat (relokasi)” tanya Suada.
Danbau Tamblingan sendiri sebelumnya pernah meluap sekitar tahun 1970-an. Data yang diperoleh NusaBali di Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Buleleng, sekitar tahun 1980-an cakupan Danau Tamblingan sempat seluas 9,2 km persegi. Kemudian, airnya menyusut hingga luas cakupan Danau Tamblingan tinggal hanya 1,15 km persegi.
Namun, dengan tingginya intensitas hujan dan tingginya resapan belakangan, kemungkinan besar Danau Tamblingan itu akan kembali seperti semula ke cakupan luasnya, yakni sekitar 9,2 km persegi atau meluas 8 kali lipat. Bukan hanya air Danau Tamblingan di Desa Munduk, Kecamatan Banjar yang meluap. Danau di sebelah timurnya, yakni Danau Buyan di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng juga ikut-ikutan meluap sejak Februari 2011 lalu. Akibatnya, ratusan hektare lahan sudah terendam air, sementara 300 KK warga sekitar terancam terisolasi.
Bencana terparah akibat meluapnya Danau Buyan terjadi di Dusun Dasong dan Dusun Buyan, Desa Pancasari. Sekitar 300 KK warga yang terancam terisolasi pun tinggal di dua dusun ini. Lapan air Danau Buyan telah melewati batas tanggul danau tersebut hingga meredam sekitar 100 hektare lahan pertanian di dua dusun bertetangga: Dusun Dasong dan Dusun Buyan.
sumber : Nusabali