Warga Pagutan, Batubulan Gianyar, ngiring tapakan ke Kayu sakral di Alas Pala serangkaian Karya Agung di Pura Pucak Sari, Sangeh, Rabu (18/10/2017). |
MANGUPURA - Alas (Hutan) Pala di Desa Sangeh tak hanya menyimpan keunikan kera-kera berekor panjang.
Di kawasan hutan seluas 14 hektare ini juga terdapat Pura Bukit Sari atau Pura Pucak Sari.
Yang unik, sejumlah Tapakan atau Sesuhunan dari sejumlah desa adat diiring ke pura sakral ini. Ada apa?
Ratusan krama Desa Adat Sangeh tangkil untuk mengikuti puncak Karya Agung Manawa Ratna dan Mapaselang di Pura Pucak Sari, Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Badung, Rabu (18/10/2017).
Upacara ini digelar setiap enam tahun sekali pada Buda Umanis Wuku Julungwangi atau dua minggu jelang Hari Raya Galungan.
Sebelumnya, krama Desa Adat Sangeh sudah melaksanakan beberapa dudonan acara seperti upacara tawur, Kamis (12/10/2017), melasti ke Pantai Seseh, Sabtu (15/10/2017), mapapada pada Minggu (16/10/2017), dan memben karya, Senin (17/10/2017).
Bendesa Adat Sangeh, Ida Bagus Dipayana menyebutkan, awalnya karya ini dilaksankan setiap tiga tahun sekali.
Berdasarkan kesepakatan adat, belakangan ini karya agung ini dilakukan setiap enam tahun sekali.
“Jika dilakukan tiga tahun sekali rasanya agak berat untuk krama. Kemudian melakukan paruman, berdasarkan kesepakatan bersama diubah menjadi enam tahun sekali,” ujarnya saat ditemui di sela-sela upacara, kemarin.
Lima banjar yang ada di bawah Desa Adat Sangeh seperti Banjar Muluk Babi, Batur Sari, Brahmana, Sibang, dan Pamijian selalu bergantian menjadi pamucuk karya.
Yang unik dari karya agung ini adalah Tapakan Ida Bhatara dari beberapa desa adat lainnya juga diiring ke Pura Pucak Sari.
Karenanya, sejumlah Tapakan seperti Barong dan Rangda tampak hadir saat puncak karya.
“Tapakan Ida Bhatara dari desa lain juga diiring ke sini karena bahan dari tapakan tersebut dulunya menggunakan salah satu pohon yang ada di kawasan pura ini,” jelas Dipayana.
Tapakan atau Sesuhunan tersebut di antaranya dari Kabupaten Gianyar, seperti Lodtunduh dan Pagutan.
Selanjutnya ada dari Badung seperti Desa Ambengan, Punggul, dan lainnya.
Tapakan-tapakan itu pun diiring ke kayu sakral yang berusia ratusan tahun.
“Kami memang sudah melaksanakan upacara ini dari dulu (leluhur),” ujar Bendesa Adat Lodtunduh, I Made Karya, saat dijumpai di lokasi.
Dia membenarkan, krama Desa Adat Lodtunduh ngiring Tapakan ke Sangeh karena bahan dari Tapakannya berasal dari salah satu kayu sakral yang ada di kawasan Pura Pucak Sari Sangeh, yakni kayu taru pole lanang wadon.
“Istilahnya tetap ngaturang bakti, sehingga kami krama Desa Adat Lodtunduh selalu melakukan upacara setiap perayaan odalan atau karya agung ini,” ucapnya.
Puncak Karya Agung di Pura Pucak Sari ini dilakukan pada Rabu (18/10/2017) pukul 16.00 Wita yakni berupa persembahyangan dan manawa ratna serta mapaselang yang dipimpin Sulinggih Siwa dan Budha.
Selanjutnya dilaksanakan penganyaran selama dua hari dan nyineb pada Sabtu (21/10/2017).
Selama panganyaran hingga nyineb akan ada upacara mapeed dengan menyunggi gebogan setiap sore sekitar pukul 15.00 Wita.
Batara Gunung Agung (GA)
Menurut Dipayana, Pura Bukit Sari atau Pura Pucak Sari ini dibangun sekitar abad ke-17 Masehi.
Siapa yang mendirikan pura sakral ini belum diketahui secara pasti.
Namun diketahui memiliki keterkaitan dengan Ida Batara di Gunung Agung.
Dikutip dari berbagai sumber, konon pura ini dibangun Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti yang merupakan anak angkat dari Raja Mengwi, Cokorda Sakti Blambangan.
Awalnya Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti melakukan tapa rare yakni bertapa dengan meniru perilaku bayi atau anak kecil di Alas Pala Desa Sangeh.
Dalam pertapaannya, Anglurah Made mendapat pawisik untuk membuat palinggih di Alas Pala Desa Sangeh.
Pendirian pura ini disebut-sebut sebagai wujud bhakti keturunan Raja Mengwi ke hadapan Ida Batara di Gunung Agung.
Sementara sumber lain menyebutkan, pura ini didirikan oleh putra Ida Batara di Gunung Agung tatkala diusir ke Pulaki, Buleleng.
Saat hendak kembali ke Gunung Agung, sang putra membawa serta hutan dan kera.
Hutan dan kera itulah yang kemudian didiamkan di daerah Sangeh.
Kisah Ini memang berkaitan dengan sejarah lahirnya nama Sangeh.
Karena di tempat inilah hutan dan kera itu ditempatkan.
Seiring itu pula dibangunlah Pura Pucak Sari.
Memang, sepintas keberadaan Pura Bukit Sari mirip dengan Pura Pulaki.
Di dekatnya terdapat Pura Melanting.
Dari segi struktur, Pura Bukit Sari memiliki banyak pura pasimpangan.
Di jeroan pura terdapat palinggih pasimpangan Batukaru, pasimpangan Danau Beratan, Pucak Sangkur, Pucak Mangu, Pucak Bon, Padmasana, Pucak Batur, Maspahit, Gedong Sri, Ratu Dalem Nusa.
Palinggih utama di Pura Bukit Sari berupa meru bertingkat sembilan.
Di jaba, terdapat palinggih Ratu Ngurah.
sumber : tribun