SINGARAJA - Baru 18 hari jenazahnya dimakamkan di Setra Desa Pakraman Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, kuburan seorang warga yakni I Made Sukadana, 53, dibongkar beramai-ramai oleh krama setempat, Rabu (26/3). Berdasarkan paruman (rapat adat), almarhum Made Sukadana tidak boleh dikuburkan di Setra Desa Pakraman Bulian karena yang bersangkutan hanya krama tamiu (pendatang).
Krama Desa Pakraman Bulian ramai-ramai membongkar liang kubur Made Sukadana, Rabu siang sekitar pukul 13.00 Wita. Begitu berhasil diangkat, jenazah almarhum---yang sebelumnya dikuburkan di Setra Desa Pakeraman Bulian, 8 Maret 2013 lalu---kemarin siang langsung dibawa ke Setra Desa Kayu Buntil, Kota Singaraja, Kecamatan Buleleng untuk diabenkan melalui Yayasan Peduli Umat Hindu (YPUH). Biaya pengabenan ditanggung sendiri oleh Kelian Desa Pakraman Bulian, I Gede Pasek.
Almarhum Made Sukadana sendiri meninggal dunia akibat sakit, 6 Maret 2014 lalu. Dua hari setelah meninggal dunia, krama tamiu yang hidup sebatang kara di Desa Bulian, tanpa istri, anak, saudara, dan keluarga lainnya ini dimakamkan di Setra Desa Pakraman Bulian.
Krama tamiu yang pemakamannya dimasalahkan Desa Pakraman Bulian ini tercatat sudah 15 tahun hijrah ke salah satu desa ‘tua’ di Kecamatan Kubutambahan tersebut. Selama merantau di Desa Bulian, Made Sukadana numpang dan diajak tinggal di rumah seorang krama setempat, I Ketut Suma. Dan, Ketut Suma pula yang bertanggung jawab atas kehidupan Sukadana, termasuk memberi tempat tinggal dan makan.
Menurut Ketut Suma, pihaknya mengenal Sukadana sejak 15 tahun silam, saat yang bersangkutan diajak kerja sebagai sopir di rumahnya. Selama itu pula, Sukadana yang hidup sebatang kara tidak setiap hari berada di Desa Bulian. “Kadang-kadang Sukadana pergi dari rumah dan kembali lagi dalam kurun waktu yang cukup lama, hingga mencapai setahun,” kenang Ketut Suma.
Ketut Suma mengaku tidak tahu persis asal-usul Sukadana. Yang dia tahu, ibunda Sukadana berasal dari Banjar Bantang Banua, Kelurahan/Kecamatan Sukasada, Buleleng. Sedangkan identitas ayah Sukadana tidak diketahui. Kendati demikian, Ketut Suma menganggap Sukadana sebagai keluarganya.
Hanya saja, Sukadana tidak terdaftar sebagai krama adat maupun warga dinas di Desa Bulian. Menurut Ketut Suma, pihaknya tidak berani memasukkan Sukadana dalam kartu keluarga (KK)-nya, mengingat status yang bersangkutan masih bujang hingga usia 53 tahun dan tinggalnya juga berpindah-pindah.
Namun, di luar itu, Sukadana sudah dianggap bagai keluarga sendiri. Jika jatuh sakit, Ketut Suma pula yang mengurusnya. Sebelum kemudian meninggal, 6 Maret 2014, Sukadana sempat sakit selama seminggu dengan keluhan batuk dan meriang. “Saya sempat antar Sukadana berobat ke bidan desa. Kondisinya pun membaik. Bahkan, sehari sebelum meninggal, Sukadana masih sempat metuakan dengan warga lainnya,” beber Ketut Suma.
Persoalan muncul setelah prosesi penguburan jenazah Sukadana di Setra Desa Pakraman Bulian, 8 Maret 2014, dimasalahkan krama setempat karena dianggap menyalahi awig-awig adat. “Ada beberapa warga yang mempertanyakan penguburan jenazah Sukadana di Setra Desa Pakraman Bulian. Mereka juga meminta keadilan dalam menjalanan awig di desa pakraman,” ungkap Kepala Desa (Perbekel) Bulian, I Made Pawitra, Rabu kemarin.
Sejumlah krama yang tidak setuju jenazah Sukadana dikuburkan di Setra Desa Pakraman Bulian kemudian mendatangi Perbekel Made Pawitra, beberapa hari pasca prosesi penguburan. Karena muncul persoalan, Perbekel Made Pawitra pun mengalihkan permasalahan Sukadana ini dihandel oleh Kelian Desa Pakraman Bulian (pihak adat).Sementara, Kelian Desa Pakraman Bulian, I Gede Pasek, menyatakan sebelum jenazah Sukadana dikuburkan di setra, pihaknya sempat menanyakan dan mendiskusikan masalah ini dengan Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) Kecamatan Kubutambahan, PHDI Buleleng, selain minta pertimbangan kepada Perbekel Made Pawitra.
Menurut Gede Pasek, dalam awig adat memang tidak tertulis dan tersurat secara jelas menyangkut menguburan jenazah krama tamiu. Karena itu, pihaknya minta pertimbangan ke MADP Kecamatan Kubutambahan. “Berdasarkan petunjuk MADP, krama tamiu bisa dikubur di desa tempat tinggalnya. Hanya saja, penguburannya harus di setra perbatasan,” kenang Gede Pasek. “Sedangkan setra perbatasan di Desa Bulian berada di wilayah Desa Kubutambahan,” imbuhnya.
Bukan hanya itu. Gede Pasek selaku Kelian Desa (Bendesa) Pakraman Bulian, juga sempat minta pertimbangan ke PHDI Buleleng terkait penguburan krama tamiu. Imbauan yang diperoleh dari PHDI, kata Gede Pasek, juga sama seperti MADP. Berbekal petunjuk dari PHDI dan MADP itulah, Gede Pasek selaku Bendesa Pakraman Bulian berani mengambil kebijakan untuk izinkan penguburan jenazah Sukadana di setra desa setempat.
Namun, persoalan ternyata melebar. Sejumlah krama keberatan dengan kebijakan yang diambil Bendesa Pakraman Bulian. Mereka protes keras, hingga akhirnya digelar paruman desa. “Desa dibilang lebih mengutamakan penduduk pendatang, padahal tidak ada sama sekali maksud seperti itu,” tutur Gede Pasek.
Karena persoalan ini, Desa Pakraman Bulian kemudian menggelar paruman dengan mengundang perwakilan dari 7 dadia yang ada di desa tua terseut. Dua kali paruman yang dilaksanaan, tidak membuahkan hasil. Maka, perwakila masing-masing dadia yang diundang di paruman pertama memutuskan untuk melaksanakan voting. Hasilnya? Dari 7 dadia, 3 dadia di antaranya menyatakan tidak setuju penguburan krama tamiu Setra Desa Pakraman Bulian. Mereka meminta jenazah Sukadana harus dibongkar dan diangkat dari setra. Sedangkan 4 dadia lainnya menyatakan setuju jenazah krama tamiu dikubur di Setra Desa Pakraman Bulian. Namun, 1 dari 4 perwakilan dadia yang menyatakan setuju ini tidak berani mengatasnamakan dadianya. Sehingga, suaranya dianggap abstain. Sekor pun menjadi 3:3.
Nah, dalam paruman yang kedua, Bendesa Pakraman Bulian mengubah sistem dengan menghitung suara mereka yang datang. Hasil dari paruman kedua ini ternyata mayoritas menyatakan tidak setuju jenazah krama tamiu dikuburkan di Setra Desa Pakraman Bulian. Jenazah Sukadana pun harus dibongkar dari kuburannya. Karena keputusan paruman desa seperti itu, Gede Pasek selaku Bendesa Pakraman Bulian kemudian mencarikan solusi. Jenazah Sukadana yang dibongkar dari setra, diabenkan di Setra Desa Kayu Buntil, Singaraja, Kecamatan Buleleng melalui Yayasan Peduli Umat Hindu (YPUH). Pembongkaran dan pengabenan jenazah Sukadana pun mesti dilakukan saat dewasa ayu (hari baik).
Dewasa ayu pembongkaran kuburan Sukadana itu jatuh pada Buda Wage Ukir, Rabu kemarin, tepat 18 hari pasca prosesi penguburannya. Krama Desa Pakraman Bulian ramai-ramai membongkar jenazah Sukadana, Rabu siang sekitar pukul 13.00 Wita. Selanjutnya, jenazah krama tamiu dibawa ke Setra Desa Kayubuntil, Singaraja untuk diabenkan.
Prosesi pengabenan jenazah Sukadana yang diprakarsai YPUH di Setra Desa Kayubuntil kemarin dipuput oleh Ida Pandita Mpu Nabe Widya Kerti, sulinggih dari Griya Kencana Sari, Desa Pengelatan, Kecamatan Buleleng. Prosesi pengabenan yang sangat sederhana tersebut dibiayai sendiri oleh Bendesa Pakraman Bulian, Gede Pasek, sebagai konsekuensi karena telah salah ambil keputusan.
Sementara itu, Ida Pandita Mpu Nabe Widya Kerti mengaku sangat menyayangkan kejadian pembongkaeran jenazah krama tamiu di Desa Pakraman Bulian ini. Menurut Ida Pandita, masalah sekecil ini sebetulnya tidak perlu menimbulkan suatu persoalan besar andakan umat sedharma dapat bersatu. Hal senada juga disampaikan Ketua YPUH, Jro Nyoman Sedana Wijaya.
“Umat Hindu seharusnya bersatu dengan konsep yadnya-nya yang sangat luar biasa,” kata Jro Sedana Wijayai. “Ini bukan hanya menyangkut hubungan kepada Tuhan, tapi juga kepada sesama dan lingkungan. Kewajiban saling membantu itu harga mati, apalagi bagi mereka yang memang perlu dibantu,” imbuh Jro Sedana.
sumber : NusaBali