DENPASAR - Di tengah penantian putusan final soal lokasi Bandara Internasional Bali Utara di wialayh Kabupaten Buleleng, sebuah perusahaan konsultan kebandaraan asal Kanada datang menawarkan konsep pembangunan bandara di atas laut. Perusahaan konsultan itu, Airport Kinesis Consulting (AKC) Kanada, secara khusus menemui Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Senin (17/3), untuk menawarkan konsep badara yang akan dibangun di Buleleng.
Ketika Gubernur Pastika menerima kedatangan pihak AKC Kanada di Kantor Gubernuran, Niti Mandala Denpasar tersebut, Wakil Bupati Buleleng Nyoman Sutjindra juga ikut hadir. Sedangkan pihak AKC Kanada mengutus Shad Servoune, yang didampingi Atase Perdagangan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia, Trecy Renold.
Versi Trecy Renold, konsep pembangunan bandara yang ditawarkan AKC Kanada semuanya berada di atas laut. Bandara dimangun tengah laut dengan jarak sekitar 1 km dari daratan. "Semua fasilitas bandara seperti landasan pacu (run way), terminal, dan lain-lain akan dibangun di atas sebuah pulau buatan yang akan dihubungkan dengan jalur kereta ke daratan,” katanya. Keuntungan yang didapat dari pembangunan bandara di tengah laut ini, antara lain, mengurangi biaya, karena tidak ada pembebasan tanah. Selain itu, efek kebisingan dari pesawat juga bisa dikurangi karena sangat jauh dari lingkungan pemukiman penduduk.
Sedangkan perwakilan AKC Kanada, Shad Servoune, menyatakan jika pemerintah Indonesia memberikan izin, maka dalam jangka waktu 10 bulan pasca perizinan keluar, proyek bandara di tengah laut ini sudah bisa dikerjakan. Sementara, Gubernur Pastika menyatakan sangat memahami konsep bandara di atas laut yang diajukan pihak AKC Kanada. Pasalnya, konsep ini memiliki keuntungan yang lebih besar daripada jika membangun bandara di darat. Namun demikian, Pastika masih minta waktu kepada AKC Kanada untuk melakukan presentasi sekali lagi.
Menurut Pastika, dalam presentasi nanti, AKC Kanada harus memaparkannya di hadapan tokoh-tokoh masyarakat Bali yang akan diundang khusus, agar bisa memperoleh masukan-masukan. Sebab, bandara internasional ini adalah proyek besar yang akan menentukan nasib Bali ke depan. “Saya mohon kesediaan bapak-bapak untuk bisa mempresentasikan konsep ini sekali lagi dalam bahasa Indonesia, di hadapan semua tokoh masyarakat bali, baik tokoh agama, lingkungan, maupun akademisi. Ya, agar mereka bisa memberikan masukan-masukan demi kebaikan bersama dan untuk masa depan Bali,” pinta Gubernur Bali pertama asal Buleleng ini.
Pastika juga meminta Kepala Dinas Perhubungan dan Infokom Provinsi Bali, Putu Astawa Riyadi, untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, agar terjadi sinkronisasi keputusan tentang penentuan proyek bandara internasional di Buleleng ini.
Sementara itu, rencana pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Buleleng masih terus dimatangkan dengan kajian. Namun, Pemprov Bali tetap berkeinginan supaya bandara baru dibangun di Buleleng Barat dengan memanfaatkan aset tanah provinsi. Dengan begitu, Pemprov Bali bisa masuk sebagai pemilik saham di bandara tersebut. Menjawab di Denpasar, Selasa (18/3), Sekprov Bali Tjokorda Ngurah Pemayun menyatakan, aset provinsi berupa tanah berada di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Tanah yang luasnya menapai 600 hektare lebih itu diharapkan bisa terpakai jadi lokasi bandara. ”Kalau kami tetap berkeinginan pembangunan Bandara Internasional di Buleleng bisa memanfaatkan tanah atau aset Pemprov Bali. Ya, supaya kita mendapatkan kontribusi,” ujar Tjok Pemayun.
Menurut Tjok Pemayun, lokasi pembangunan Bandara Buleleng masih dalam proses Feasibility Study (FS)---studi kelayakan. Saat ini, berbagai perusahaan dari luar negeri sudah menjajaki untuk masuk, termasuk dari Inggris, India, dan juga AKC Kanada.
“Tapi, perusahaan-perusahaan dari luar negeri itu baru penjajakan saja. Karena kita juga melibatkan Tim FS dari lokal. Kita masih menunggu hasil kajian yang dilakukan Tim FS. Selain itu, kita juga masih tunggu keputusan dari Kementerian Perhubungan soal lokasi bandara, karena menyangkut kelayakan dan keselamatan penerbangan,” ujar birokrat yang mantan Kepala Bappeda Bali ini. Ada dua lokasi di Buleleng yang sejak awal disiapkan sebagai tempat pembangunan Bandara Internasional Bali Utara. Pertama, Desa Kubutambahan (Kecamatan Kubutambahan, Buleleng Timur). Kedua, Desa Sumberkima (Kecamatan Gerokgak, Buleleng Barat). Semuanya sedang dikaji kelayakannya. Pengkajian (FS), antara lain, dipercayakan kepada PT Pembangunan Bali Mamndiri (PBM). Berdasarkan hasil FS awal dari PT PBM, Kubutambahan dianggap layak sebagai lokasi bandara. Tidak ada bangunan suci berupa pura yang harus tergusur oleh pembangunan bandara di Kubutambahan. Yang kena gusur hanya dua sekolah.
Hasil studi kelayakan yang menyebut Kubutambahan layak sebagai lokasi bandara internasional itu dipresentasikan PT PBM di hadapan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, anggota DPRD Buleleng, para pejabat terkait, kalangan tokoh masyarakat, dan pentolan LSM di Singaraja, 8 Maret 2014 lalu.
Berdasarkan hasil FS PT PBM, ada dua kawasan di Kubutambahan yang direkomendasikan layak sebagai lokasi Bandara Internasional Bali Utara. Pertama, Kubutambahan I, yang berada di bagian utara Desa Kubutambahan dan langsung menuju pantai. Kedua, Kubutambahan II, yang berada di bagian selatan Desa Kubutambahan (jauh dari lokasi pantai, tapi mendekati kawasan pegunungan). Lokasi Kubutambahan I dan Kubutambahan II memiliki nilai plus dan minus masing-masing. Direktur Utama PT PBM, Nur Hasan Ahmad, menyatakan untuk Kubutambahan I, sisi plusnya meliputi: langsung berhubungan dengan pantai, lokasinya datar, dan tidak terlalu banyak membutuhkan biaya meratakan tanah. Sisi minusnya, ribuan hektare lahan pertanian berupa sawah basah harus dibebaskan jika bandara internasional dibangun di Kubutambahan I.
Sedangkan untuk Kubutambahan II (di sisi selatan mendekati perbatasan Kabupaten Buleleng-Kabupaten Bangli), sisi baiknya hanya membebaskan lahan kering. Namun, sisi minusnya, dibutuhkan biaya cukup tinggi untuk meratakan tanah, karena banyak tebing-tebing curam.
“Dari dua lokasi yang dianggap layak itu, Kubutambahan II cukup aman, karena lahan persawahannya akan tetap ada. Tapi, biaya meratakan tanahnya cukup besar dan ini masih kita hitung kebutuhan dananya,” terang Nur Hasan.
sumber : NusaBali