DENPASAR - Rencana tolak pemberlakuan 11 KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) di Bali dan ditutupnya pura dari kunjungan turis, akan berdampak terhadap pariwisata ke depan. Bahkan, hal ini dianggap sebagai ancaman dahsyat bagi pariwisata Bali. Praktisi pariwisata yang juga Ketua Yayasan Yasa Sedana Putra Gianyar, Dewa Rai Budiasa, mengatakan selama ini krama Bali sudah telanjur hidup dari turis. Karena itu, sikap Gubernur Made Mangku Pastika untuk melarang turis masuk ke pura—setidaknya di semua Pura Sad Kahyangan dan Pura Kahyangan Jagat---sebagai buntut kisruh KSPN Besakin-Gunung Agung dan sekitarnya, dianggap sangat mengejutkan.
Dibilang mengejutkan, kata Rai Budiasa, karena wisatawan ke objek pariwisata yang ada puranya sudah berlaku sejak lama dan teragendakan oleh tour operator dunia. ”Sekarang harus ada sosialisasi dari Pemprov Bali, desa adat, PHDI, dan masyarakat setempat soal batasan-batasan mana saja yang tidak boleh dikunjungi turis,” ujar Rai Budiasa, Rabu (6/11). Rai Budiasa pun mempertanyakan, apa mungkin kebijakan pura ditutup dari kunjungan turis bisa dilaksanakan total? “Kalau memang ditutup secara total, artinya clean, tidak boleh ada turis selain umat yang tangkil sembahyang. Sebagai umat Hindu, saya juga sepakat itu. Tapi, harus ada sosialisasi ke masyarakat dan wisatawan, supaya tidak dilanggar,” lanjut praktisi pariwisata yang juga politisi Golkar ini. Rai Budiasa yang notabene mantan Wakil Ketua ASITA DKI Jakarta menilai keputusan tegas yang diambil Gubernur Pastika ini adalah puncak kisruh KSPN. Kalau komponen masyarakat, media, tokoh umat, dan tokoh adat bisa mengantisipasi sejak awal, kata dia, tentu keputusan ini tidak terjadi.
“Tapi, komentar-komentar yang membabibuta akhirnya melahirkan sebuah keputusan drastis. Gubernur dan Pemprov Bali tidak bisa disalahkan dalam hal ini,” ujar tokoh asal Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Gianyar ini. Sikap tegas Gubernur Pastika mengembalikan fungsi semua pura yang ada di Bali menjadi tempat yang benar-benar disucikan, bukan sebagai daya tarik wisata, merupakan wujud komitmennya dalam menegakkan bhisama, menjaga kawasan suci, dan konsistensi penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal tersebut juga merupakan kesimpulan dari Sarasehan ‘Pembangunan Pariwisata Bali ke Depan’ di Gedung Jaya Sabha Denpasar, Selasa (5/11), yang melibatkan kalangan tokoh. Ketua Komisi IV DPRD Bali (yang membidangi masalah pariwisata), Nyoman Parta, mengaku mengapresiasi keputusan Gubernur Pastika untuk menutup pura dari aktivitas turis. Hanya saja, menurut Parta, lebih baik di Pura Besakih serta Pura Sad Kahyangan lainnya dan Pura Dang Kahyangan dibuatkan badan otoritas. Ini penting untuk memberikan rambu-rambu kepada turis yang berkunjung dan mencegah mereka masuk ke Utama Mandala pura. “Kalau ditutup total, saya juga tidak sepakat.
Di Desa Batuan (Kecamatan Sukawati, Gianyar), penghasilan dari kunjungan turis (ke pura) dalam setahun bisa mencapai Rp 1 miliar,” ujar Nyoman Parta secara terpisah di Denpasar, Rabu kemarin. Karena itu, keputusan Gubernur Pastika untuk menutup total pura dari turis harus dikaji ulang. Nyoman Parta juga menyayangkan adanya penolakan KSPN yang hanya mengkhususkan Besakih, sementara 10 KSPN lain yang juga ada puranya malah dikompromikan. “Kalau hanya Besakih saja ditolak masuk KSPN, pasti jadi polemik. Okelah Besakih harus diberlakukan khusus, tapi pura-pura yang lain kan juga tempat suci. Harus ada perlakuan sama, minimal Pura Sad Kahyangan dan Pura Dang Kahyangan,” tegas politisi PDIP asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini. Menurut Parta, harus dibuat kajian soal keputusan tutup pura dari turis ini, dengan melibatkan semua komponen. Lalu, siapa yang akan menjaga dan mengawasi turis di pura-pura? “Selama ini, kita memang terganggu sekali di Besakih. Kita sembahyang, eh ada guide lokal pakai celana panjang berseliweran.
Sedangkan pacalang dan krama setempat tidak berani menegur,” katanya. “Janganlah turis itu dikasi masuk ke pura hanya menggunakan selendang saja. Memang kita harus tegas, tetapi buat kajian bagaimana cara mengawasi turis tersebut,” lanjut Parta. Sementara itu, Kepala Biro Humas Setda Provinsi Bali Ketut Teneng menyatakan sikap tegas Gubernur Pastika untuk mengembalikan fungsi semua pura sebagai tempat yang benar-benar disucikan dan bukan jadi daya tarik wisata, merupakan wujud komitmennya dalam menegakkan bhisama, menjaga kawasan suci, dan konsistensi penerapan RTRW. Menurut Ketut Teneng, keputusan Gubernur Pastika itu bukan karena tekanan sejumlah pihak yang dikembangkan sedemikian rupa di sebuah media atau spanduk penolakan KSPN Besakih. “Ini murni merupakan wujud komitmen Gubernur untuk menegakkan bhisama, Perda RTRW, dan menjaga kesucian pura,” tandas Ketut Teneng di Kantor Gubernuran, Niti Mandala Denpasar, Rabu kemarin. Sekarang, PHDI, desa adat, dan masyarakat harus bersama-sama menjaga dan sosialisasikan keputusan ini. “Pura memang untuk sempat sembahyang.
Pak Gubernur mengatakan pura itu dibangun orang-orang suci dan leluhur untuk tempat sembahyang, bukan buat dikunjungi turis. PHDI, desa adat, dan masyarakat harus jaga betul itu,” tegas Teneng. Meski demikian, Teneng mempertanyakan kenapa dalam sarasehan yang melibatkan para tokoh Bali, hanya KSPN Besakih yang dikecualikan, sedangkan 10 KSPN lainnya di Bali yang juga ada puranya justru dikompromikan? “Pura Pemuteran di Buleleng, Pura Tanah Lot di Tabanan, Pura Ulun Danu Batur di Bangli, apakah bukan tempat suci? Harusnya, KSPN lain yang semua ada puranya juga ditolak. Kalau tidak, apa gunanya bhisama?” ujar Teneng. “Gubernur sudah tegas menolak KSPN dan tutup pura dari aktivitas turis. Ya, keputusan ini kan desakan kalangan pariwisata di media-media, akademisi, PHDI, sulinggih. Sampai dibacakan bhisama segala saat sarasehan,” imbuhnya. Menindaklanjuti keputusannya turtup pura dari aktiviotas turis, kata Teneng, Gubernur Pastika sudah mengintruksikan kepada instansi terkait, dalam hal ini Dinas PU, untuk menginventarisasi kondisi fisik bangunan Pura Sad Kahyangan dan Pura Dang Kahyangan buat dilakukan pembenahan.
sumber : NusaBali