Sabtu, 17 November 2012 08:09
JAKARTA - Pemerintah mengakui kesulitan menurunkan tingkat kasus anak pendek (stunting) akibat masalah kurang gizi. Pasalnya masalah stunting tidak serta merta terkait dengan asupan gizi semata, tetapi juga hal lain seperti penyakit dan kebersihan lingkungan.
"Menurunkan tingkat stunting sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang lama,” ujar Direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes Minarto ketika dihubungi Jumat (16/11).
Menurut Minarto, fenomena anak pendek sebagian disebabkan oleh kasus kurang gizi yang terjadi akibat penyakit penyerta seperti diare berat, kelainan saat lahir, kecacingan, malaria, dan ISPA.
Balita yang terserang diare bisa dipastikan yang bersangkutan bakal mengalami masalah kurang gizi yang jika tidak ditangani menyebabkan gizi buruk yang akan mengganggu tumbuh kembang mereka.
Penyakit seperti diare, ISPA, kecacingan, kata Minarto, terkait dengan pola hidup sehat dan kebersihan lingkungan.
Berangkat dari situ, bisa disimpulkan upaya menurunkan gizi tidak serta merta bisa dilakukan dengan intervensi gizi mikro saja, tetapi juga intervensi luar seperti membudayakan hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan.
Komentar Minarto itu guna menanggapi hasil penelitian South East Asia Nutritions Surveys (SEANUTS) pada anak-anak di di empat negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam pada 2011. Survei tersebut menggunakan 7.200 responden anak usia 6 bulan sampai 12 tahun
Dari hasil riset disimpulkan anak-anak Indonesia paling pendek di antara negara-negara tersebut, bahkan dari Vietnam. Survei itu menyatakan balita di Indonesia yang menderita stunting rata-rata sebesar 24,1% untuk anak laki-laki dan 24,3% untuk anak perempuan.
Untuk anak stunting usia sekolah sampai 12 tahun sebanyak 24,1% untuk laki-laki dan 25,2% untuk perempuan.
Ketua tim peneliti SEANUTS Indonesia, Dr Sandjaja menyatakan, rata-rata kejadian stunting di Malaysia, Thailand dan Vietnam hanya sekitar 11%-12%.
Hasil riset ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang menenggarai kasus anak pendek di Indonesia mencapai sekitar 34%.
Menanggapi riset tersebut, Minarto berpendapat strategi terbaik untuk mengatasi masalah stunting adalah dengan bermain di hulu atau pencegahan sebelum kasus itu terjadi. Oleh karena itu, Kemenkes telah mengeluarkan program Gerakan Nasional 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang dirilis pada November ini.
Lewat gerakan ini, maka penanganan difokuskan sejak ibu mengandung sampai anak berusia 2 tahun. Caranya adalah kader posyandu atau petugas puskesmas sudah diberi tahu, berat ibu saat hamil harus bertambah sekitar 10-12 kg dibanding berat badan sebelum hamil.
Jika saat ditimbang ditemukan ibu hamil dengan berat badan yang rendah, ibu hamil itu diberi program Pemberian Makanan Tambahan (PMT).
Makanan yang diberikan seperti biskuit ibu hamil atau makanan lokal yang pembeliannya sudah disubsidi pemerintah. Selanjutnya saat bayi lahir hingga usia 6 bulan diwajibkan mengonsumsi ASI ekslusif tanpa putus.
Usai usia 6 bulan, program merekomendasikan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada balita. Di sini, lanjut Minarto, pemerintah menyediakan makanan tambahan Taburia yang berisi mulitvitamin dan mineral bagi balita. Taburia dibagikan secara gratis di posyandu dan puskesmas.
Intervensi spesisifik langsung ini diyakini dapat mencegah potensi kejadian masalah kekurangan gizi pada balita. Pengalaman membuktikan bentuk intervensi langsung efektif mencegah berbagai masalah kurang gizi seperti kekurangan vitamin A dan iodium.
Berkat pembagian vitamin A secara berkala, prevalensi kurang vitamin A turun dari 14,6% pada 2007 menjadi 8,7% pada balita 2011. Secara nasional masalah kurang iodium juga sudah terkendali.
"Menurunkan tingkat stunting sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang lama,” ujar Direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes Minarto ketika dihubungi Jumat (16/11).
Menurut Minarto, fenomena anak pendek sebagian disebabkan oleh kasus kurang gizi yang terjadi akibat penyakit penyerta seperti diare berat, kelainan saat lahir, kecacingan, malaria, dan ISPA.
Balita yang terserang diare bisa dipastikan yang bersangkutan bakal mengalami masalah kurang gizi yang jika tidak ditangani menyebabkan gizi buruk yang akan mengganggu tumbuh kembang mereka.
Penyakit seperti diare, ISPA, kecacingan, kata Minarto, terkait dengan pola hidup sehat dan kebersihan lingkungan.
Berangkat dari situ, bisa disimpulkan upaya menurunkan gizi tidak serta merta bisa dilakukan dengan intervensi gizi mikro saja, tetapi juga intervensi luar seperti membudayakan hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan.
Komentar Minarto itu guna menanggapi hasil penelitian South East Asia Nutritions Surveys (SEANUTS) pada anak-anak di di empat negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam pada 2011. Survei tersebut menggunakan 7.200 responden anak usia 6 bulan sampai 12 tahun
Dari hasil riset disimpulkan anak-anak Indonesia paling pendek di antara negara-negara tersebut, bahkan dari Vietnam. Survei itu menyatakan balita di Indonesia yang menderita stunting rata-rata sebesar 24,1% untuk anak laki-laki dan 24,3% untuk anak perempuan.
Untuk anak stunting usia sekolah sampai 12 tahun sebanyak 24,1% untuk laki-laki dan 25,2% untuk perempuan.
Ketua tim peneliti SEANUTS Indonesia, Dr Sandjaja menyatakan, rata-rata kejadian stunting di Malaysia, Thailand dan Vietnam hanya sekitar 11%-12%.
Hasil riset ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang menenggarai kasus anak pendek di Indonesia mencapai sekitar 34%.
Menanggapi riset tersebut, Minarto berpendapat strategi terbaik untuk mengatasi masalah stunting adalah dengan bermain di hulu atau pencegahan sebelum kasus itu terjadi. Oleh karena itu, Kemenkes telah mengeluarkan program Gerakan Nasional 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang dirilis pada November ini.
Lewat gerakan ini, maka penanganan difokuskan sejak ibu mengandung sampai anak berusia 2 tahun. Caranya adalah kader posyandu atau petugas puskesmas sudah diberi tahu, berat ibu saat hamil harus bertambah sekitar 10-12 kg dibanding berat badan sebelum hamil.
Jika saat ditimbang ditemukan ibu hamil dengan berat badan yang rendah, ibu hamil itu diberi program Pemberian Makanan Tambahan (PMT).
Makanan yang diberikan seperti biskuit ibu hamil atau makanan lokal yang pembeliannya sudah disubsidi pemerintah. Selanjutnya saat bayi lahir hingga usia 6 bulan diwajibkan mengonsumsi ASI ekslusif tanpa putus.
Usai usia 6 bulan, program merekomendasikan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada balita. Di sini, lanjut Minarto, pemerintah menyediakan makanan tambahan Taburia yang berisi mulitvitamin dan mineral bagi balita. Taburia dibagikan secara gratis di posyandu dan puskesmas.
Intervensi spesisifik langsung ini diyakini dapat mencegah potensi kejadian masalah kekurangan gizi pada balita. Pengalaman membuktikan bentuk intervensi langsung efektif mencegah berbagai masalah kurang gizi seperti kekurangan vitamin A dan iodium.
Berkat pembagian vitamin A secara berkala, prevalensi kurang vitamin A turun dari 14,6% pada 2007 menjadi 8,7% pada balita 2011. Secara nasional masalah kurang iodium juga sudah terkendali.
sumber : MICOM