Sejumlah pekerja mengurug Teluk Penerusan untuk dibangun hotel, Sabtu (16/5/2015). |
SINGARAJA - Dua bangunan berupa beton berdiri memanjang hingga menjorok sekitar 200 meter ke dalam Teluk Penerusan dari bibir teluk di Banjar Dinas Banyuwedang, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, Sabtu (16/5/2015).
Di antara beton yang berjarak sekitar 15 meter, sejumlah pekerja tampak menimbun perairan teluk itu dengan tanah urug hingga terbentuk sebuah daratan.
Seorang warga Desa Pejarakan, Iboy mengatakan, aktivitas reklamasi Teluk Penerusan itu telah terjadi sejak sebulan lalu.
Menurutnya, di atas lahan seluas dua hektar termasuk teluk yang direklamasi itu akan didirikan sebuah akomodasi pariwisata berupa hotel.
Dikatakan, lahan yang akan dibangun hotel itu merupakan tanah milik seorang warga yang telah dijual kepada investor.
Namun, ia merasa heran dan mempertanyakan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sampai tembus ke perairan teluk.
“Sudah sebulan aktivitas proyek itu berjalan. Katanya mau dibangun hotel, tapi masalahnya kenapa kok sampai mereklamasi teluk? Apakah teluk itu bisa dikapling dan dijadikan milik perseorangan?,” ucapnya.
Tidak hanya itu, aktivitas proyek pembangunan vila itu juga turut menebang sejumlah pohon mangrove yang ada di teluk.
“Ada juga saya lihat pohon-pohon mangrove yang sudah mati bekas ditebang dibiarkan begitu saja,” katanya.
Di dalam Undang-undang (UU) 27 tahun 2007 setelah perubahan menjadi UU Nomor 1 tahun 200 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disebutkan, jika seseorang atau perusahaan tidak diperkenankan mendirikan bangunan minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Perbekel Desa Pejarakan, Made Astawa mengatakan, lahan lokasi pengerjaan proyek itu berstatus tanah hak milik seorang warga, Komang Milik.
Selanjutnya, lahan itu dijual warga tersebut kepada seorang investor yang tidak diketahuinya.
Dikatakan, di atas lahan itu akan dibangun sarana akomodasi pariwisata.
Namun, ia tidak mengetahui lebih detail bangunan apa yang akan didirikan.
Ia hanya mengetahui jika proyek itu hanya sebatas pembangunan jalan.
“Itu tanah milik seorang warga, dia punya Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah itu. Kemudian di jualnya tanah itu ke orang lain yang sekarang akan dibangun akomodasi wisata. Sekarang baru pembangunan jalan saja dan masih lama itu, lima tahun lagi baru terlihat bangunannya,” ujarnya.
Astawa menambahkan, sejauh ini masih belum ada permohonan izin atas pembangunan proyek itu ke Kantor Desa.
Ia juga mengaku masih belum mengeluarkan rekomendasi atas proyek itu.
Namun, ia tidak mempermasalahkan karena status lahan itu merupakan hak milik perseorangan.
“Sampai sekarang belum ada permohonan izin yang masuk dan saya masih belum mengeluarkan rekomendasi. Tapi selama itu tidak mengganggu lingkungan tidak ada soal karena status tanah itu milik perseorangan," katanya.
sumber : tribun