Menyingkap Berita Tanpa Ditutup Tutupi
Home » , , » Habis dalam 5 Tahun, Penyelamat Krisis Air di Bali Itu Ada di Bangli

Habis dalam 5 Tahun, Penyelamat Krisis Air di Bali Itu Ada di Bangli

Written By Dre@ming Post on Rabu, 13 Mei 2015 | 9:29:00 AM

warga berebut untuk mendapatkan air bersih
DENPASAR - Akibat eksploitasinya secara besar-besaran, Bali kini dalam kondisi krisis air bersih.

Bahkan diperkirakan dalam 5 tahun mendatang, karena penyedotan air tanah yang meningkat akibat konsumsinya yang makin boros, air bersih di Bali akan habis.

Konsumsi air yang boros itu terutama terkait industri pariwisata, yang ironisnya juga telah menularkan gaya hidup royal air pada masyarakat Bali.

Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Tjokorda Oka AA Sukawati (Tjok Ace) mengatakan, krisis air tanah di Bali membutuhkan solusi yang holistik atau menyeluruh antara hulu dan hilir, bukan sepenggal-sepenggal atau per daerah.

Selain itu, tata ruang dan wilayah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah (pemda), yang membagi antara kawasan yang masih terbuka untuk pendirian bangunan dan yang tertutup, harus ditegakkan secara konsisten di lapangan.

PHRI juga menawarkan konsep klaster (cluster) untuk menjaga keseimbangan antara daya dukung lingkungan dan pembangunan.

“Kalau kita pilah, masalahnya lebih pada kawasan hulu yang pengelolaan air tanahnya belum dilakukan dengan baik seperti di daerah Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Hutan-hutan sebagai penyangga air di daerah aliran Sungai Ayung itu sebagian besar ada di Bangli. Tapi di sisi lain, posisi Bangli menyebabkannya hanya sedikit sekali menikmati manfaat pariwisata,” jelas Tjok Ace saat ditemui di kantor DPD PHRI Bali di Renon, Denpasar, Bali.

Karena hanya kecipratan sedikit dari pariwisata Bali, Bangli pun ikut berlomba bersama daerah-daerah lain di Bali dalam menyediakan diri untuk pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel-hotel.

Padahal, pembangunan seperti itu, jika tidak memperhitungkan sifat dan peran Bangli sebagai wilayah penyangga air di Bali, justru akan merugikan secara ekologis.

Menurut Tjok Ace, Undang-undang (UU) tentang otonomi daerah yang memberi kekuasaan besar pada daerah untuk mengatur dirinya sendiri membuat daerah makin `egois`.

Padahal, dalam konteks Bali, antara satu daerah dengan daerah lain sebetulnya saling terkait dan membutuhkan.

“Tapi kita lihat, ada daerah di hilir yang mendapatkan manfaat begitu besar dari sektor pariwisata, tapi daerah penyangga di hulu seperti Bangli tidak kecipratan manfaat itu. Semestinya, daerah yang surplus besar memberi bagian keuntungannya secara adil pada daerah penyangga. Sehingga, tugas daerah penyangga hanyalah menjaga dan merawat lingkungan, tidak ikut berlomba membangun fasilitas wisata yang itu justru mengganggu daya dukung lingkungannya,” urai Tjok Ace.

Seperti diberitakan sebelumnya, ketersediaan air tanah di Bali sudah berada pada kondisi kritis akibat eksploitasinya secara besar-besaran.

Saat ini, menurut Yayasan IDEP Selarasa Alam, ketersediaannya tinggal 20 persen dibandingkan tingkat kebutuhannya.

Selain mengakibatkan perembesan/intrusi air laut ke dalam akuifer air tanah sudah terjadi di banyak tempat di Bali.

Khususnya di pusat-pusat wisata, kondisi air tanah yang kritis ini bisa menciptakan bencana ekologis di Bali dalam 5 tahun mendatang jika tak cepat ditangani.

Menurut Tjok Ace, dalam penataan kawasan tersebut, satu solusi teknis yang penting dalam mengurangi krisis air bersih adalah lewat kebijakan Koefisien Lantai Bangunan (Floor Area Ratio/FAR) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).

FAR adalah perbandingan antara luas lantai dasar bangunan dengan luas tanah.

Sedangkan KDB bertujuan untuk mengatur besaran luasan bangunan yang menutupi permukaan tanah.

Hal ini akan mempengaruhi ketersediaan air tanah untuk masa yang akan datang.

Selain sebagai penjaga keberadaan air tanah, permukaan tanah yang tidak tertutup bangunan akan mampu menerima sinar matahari secara langsung untuk membuat tanah bisa mongering, sehingga udara yang tercipta di sekitar bangunan tidak menjadi lembab.

“Sekarang banyak tumbuh city hotel dan kita lihat semua dibangun tanpa ada ruang terbuka hijau. Pemerintah harus konsisten menegakkan tata ruang. Yang kita terapkan di beberapa hotel di Gianyar, misalnya adalah konsep FAR, yakni 40 persen lahan boleh dibangun dan 60 persen tidak boleh di bangun. Hotelnya bertarif mahal tidak apa-apa, karena Gianyar sendiri daerah mahal,” jelas Tjok Ace.







sumber : tribun
Share this article :

DKS

Visitors Today

Recent Post

Popular Posts

Hot Post

Dua Pemancing Tergulung Ombak Di Tanah Lot Masih Misteri

Dua Orang Hilang di Lautan Tanah Lot, Terungkap Fakta: Istri Melarang dan Pesan Perhatikan Ombak TABANAN - Sekitar sembilan jam lamany...

 
Support : Dre@ming Post | Dre@aming Group | I Wayan Arjawa, ST
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bali - All Rights Reserved
Template Design by Dre@ming Post Published by Hot News Seventeen