GIANYAR - Sekitar pukul 00.00 Wita, Jero Mangku Puseh nguncar mantra.
Matanya terpejam, nadanya naik turun.
Suara pisau merajam berbagai jenis sesajen terdengar nyaring.
Segehan Agung pun dihaturkan.
Tiga momen itu ternyata menjadi ritual pembuka pintu gerbang bagi rerencang Ida Bhatara.
Mahluk kasat mata yang dipersalahkan memasuki tubuh manusia.
Dalam pegelaran Calonarang malam itu, pekikan bertalu, ada yang berteriak, ada juga yang menangis meraung.
Satu persatu tak sadarkan diri.
Mereka berdiri, meminta lelabaan pitik matah.
Puluhan krama pemedek Desa Pekraman Suwat, Kecamatan Gianyar, Bali kerauhan.
Setelah mendapatkan anak ayam berwarna hitam, hidup-hidup mereka makan.
Para pengayah tampak seperti menikmati sekali hidangan tersebut.
Mencabik dengan gigi, sembari memberikan satu dengan yang lain.
Darah terlihat jelas menetes membasahi tanah Jaba Pura Melanting Desa Pekraman Suwat.
Kadutan (keris)," begitu teriak para pengayah.
Keris tajam pun sudah disediakan.
Tanpa tedeng aling-aling, para pengayah langsung mengambilnya, bahkan ada yang merebut dari tangan krama lain.
Keris tajam itu lalu mereka hujamkan ke dada masing-masing.
Semakin keras nada gambelan, maka semakin kalap juga para pengayah.
Sekitar 100 lebih anak ayam yang dihaturkan warga ludes nyaris tak bersisa.
Habisnya lelabaan pitik matah juga menjadi ciri bahwa, para rerencangan Ida Bhatara bisa meninggalkan tubuh para pengayah.
Tirta dipercikkan.
Satu persatu mulai sadarkan diri.
sumber : tribun